Seorang kawan dekat semasa kuliah tiba-tiba menelepon. Menanyakan soal pekerjaan sih, tapi ujung-ujungnya jadi bertukar kabar satu sama lain. Dan tentu saja seperti biasa dua orang kawan yang sudah lama tidak bertegur sapa, pembicaraan menyinggung masalah asmara :D
"Ris, cariin gue calon suami dong!"
Gue, yang mengingat teman gue ini sebagai perempuan yang cukup cantik menarik dan menyenangkan, bertanya heran,
"Emang lu mau yang kaya apa?" *pertanyaan standar"
"Gue mau yang lebih tua dari gue, dan KAYA!"
"Kaya?"
"Iya, dulu gue gak pernah matre. Ternyata selama ini gue salah. Telat banget gue matrenya. Ternyata lebih masuk akal buat matre. Ayo carikan gue calon suami kaya"
Gue jadi geli sendiri dan jadi teringat kata-kata salah satu adik ipar gue beberapa hari sebelumnya,
"Eng, bukannya matre ya, cuman kalo aku lagi lembur dan pacarku mau jemput, kalo gak naik mobil kayanya mendingan gak usah deh. Bukannya kenapa-kenapa, malem-malem gitu naek motor aku gak tahan, nanti masuk angin." :P
Hmm, meskipun adalah kewajiban bagi laki-laki untuk menjadi kaya dan mensejahterakan keluarganya, gue merasa sepertinya tuntutan kekayaan ini semakin menjadi keutamaan syarat layaknya seorang laki-laki. Sekarang, jadi laki-laki ganteng pemberontak yang hobinya naik motor trail ke puncak untuk menulis puisi ternyata tidak cukup untuk memesona perempuan Indonesia :D
Bersyukurnya gue sudah mempunyai istri yang mau menerima gue padahal saat itu gue tidak kaya (sekarang pun belum sih :D). Dan si istri ini sampai sekarang dengan tabahnya siap mendengarkan pertanyaan retoris gue dan selalu bisa menjawabnya dengan pantas,
"Wi, kamu pernah menyesal gak punya suami miskin kaya aku?"
Jawabannya tentu saja sebuah tamparan penuh cinta. (Kata siapa cinta tidak menyakitkan?)
Akan jadi perbincangan tanpa ujung kalau membicarakan soal kekayaan. Belum kalo berujung pada irihati. Istriku yang tabah itu mengajarkan gue bahwa (bermimpi) menjadi kaya bersama-sama ternyata tidak kalah enaknya. Tapi memang sulit ya buat tidak irihati :D
Padahal kalo dipikir lagi, permasalahan menjadi seorang laki-laki tidak hanya itu. Setidaknya menurut
majalah Esquire edisi onlinenya, setidaknya ada 75 skill yang harus dikuasai laki-laki (selain menjadi kaya tentunya :D). Sarena seorang laki-laki tidak perlu menjadi ahli dalam satu hal, tapi dia harus bisa melakukan banyak hal, karena akan tiba saatnya di mana laki-laki akan diharapkan mampu memecahkan persoalan yang tidak terduga (seperti mencuri hati calon mertua yang berselera spesifik, misalnya :D)
Membaca artikel itu, bisa diduga bahwa itu tidak ditulis buat laki-laki Indonesia.
Memasak bacon,
membuat jump shot dalam permainan bilyar,
menebang pohon, atau
menebak kondisi segelas wine dengan tepat mungkin kurang relevan. Tapi siapa yang tahu kapan kita akan tiba-tiba merasa berjodoh dengan seorang pecinta alam dan dia mengajak kita kemping (atau tiba-tiba rumah kita tertimpa
pesawat alien yang sedang mencari jeans murah dan terpaksa kita harus menghabiskan malam dengan berkemah di pekarangan?)? Tentu keahlian
membuat api unggun akan berguna. Bagaimana kalau kita tersesat saat kemping tersebut? Tentu skill
keluar dari hutan saat tersesat akan berguna. Atau minimal
bisa menunjuk ke arah utara tanpa bantuan kompas.
Artikel itu memang ditulis dengan semangat bercanda, tapi sangat mungkin dipikirkan secara serius. Sebagian besar hal di situ tidak bisa gue lakukan, padahal kelihatannya sangat umum.
Berenang dengan tiga macam gaya (tidak termasuk ngetrap)? Membereskan tempat tidur (yang rapih)? atau
menebak ukuran baju seorang perempuan? Bukannya gue gak pernah mencoba. Tapi setiap saat gue melakukannya, selalu terjadi kekacauan dunia. Gue tidak cukup aerodinamis untuk berenang. Setiap membereskan tempat tidur, yang ada tempat tidurnya mangkin berantakan. Dan sampai sekarang gue belum pernah memberi kado pakaian buat Dewi tanpa dia tau (karena gue selalu bertanya dulu ukurannya :D).
Tapi memang ada beberapa skill interpersonal yang ingin gue kuasai tanpa gue sadar sampe gue membaca artikel ini.
Memberi nasehat yang tepat dalam satu kalimat, misalnya. Gue selalu melantur kalau mau menasehati orang.
Mengetahui kalau orang lain berbohong juga gue tidak begitu pandai, atau yang paling gue butuhkan,
skill untuk menawar harga. Ah, begitu banyak yang gue gak bisa ternyata. Sepertinya perlu banyak latihan.
Seperti yang ditulis di situ. Tidak perlu menguasai semuanya dalam waktu yang singkat. Mungkin juga sebenernya tidak penting buat menguasai semuanya. Tapi bayangkan kalau semua itu bisa kita lakukan. Pasti kita akan begitu percaya diri karena merasakan dikagumi laki-laki lain, dan atau yang paling pol; kita akan tambah menarik di mata perempuan lain. Gue kenal perempuan yang mensyaratkan laki-laki yang
bisa bicara berbagai bahasa, apalagi kalau juga
hapal sebuah puisi di luar kepala. Gue jadi berpikir kalau bisa semua skill ini dikuasai, mungkin, - mungkin - kita tidak perlu menjadi kaya dahulu untuk bisa menarik di mata perempuan Indonesia.
----------------------
Sehabis menutup telepon dari teman kuliah tadi, gue berpaling pada laki-laki di sebelah gue. Seorang teman lajang yang kelihatannya mendengarkan percakapan gue barusan.
"Tuh, mau gak sama temen gue. Anaknya cantik lho, asik pula."
Lalu dia menjawab sambil mencibir,
"Lah elu lagi, gue juga mau cari istri yang kaya. Malah ngasi gue cewe yang mau cari suami kaya."
"Set dah, laki-laki kok matre."
"Ya iyalaaaah. Kalo gak gitu, gue gak bisa ke luar negeri."
".............."