"Bukannya élu malah tambah sedih ya jadinya?", kata seorang teman yang datang melayat ke rumah. Ia berkata begitu setelah melihat foto-foto dek Dafi yang gue pajang di frame digital di ruang tamu.
"Hmm, kebetulan aja frame ini ada dan gak dipake, jadi kenapa enggak." jawab gue. "Tapi alasan utamanya, sebenernya gue merasa gak ada pilihan. Kemanapun gue memalingkan wajah, gue selalu inget dia. Gue masih sedih. Jadi gue berpikir, biarlah gue begini, sampe gue terbiasa melihat fotonya dek Dafi dan gue udah gak merasa sedih."
Memang sejak kepergian dek Dafi, hari-hari gue dan Dewi dihabiskan dalam masa penuh duka. Betapapun kami sering saling menguatkan, ternyata yang namanya ikhlas itu masih sulit rasanya untuk dijalankan. Gue pernah kehilangan ibu, dan rasanya pun saat itu tidak seberat ini. Di tengah-tengah pikiran gue yang masih kacau balau ini, gue pun mencoba menalar kenapa.
Saat orangtua meninggalkan kita, meskipun sedih rasanya (karena setua apapun usia kita, tetap membutuhkan orangtua), namun kita menyadari bahwa itulah takdir yang seharusnya. Kita sebagai anak pun ditakdirkan untuk melepaskan diri dari ketergantungan kita pada orangtua saat beranjak dewasa. Kalau ada yang gue rindukan dari ibu, itu adalah kerinduan untuk berbakti padanya, dan rindu akan rasa hangat dari perhatian dan kehadirannya yang gue rasakan sejak gue lahir.
Tapi anak adalah masa depan kita. Kepada merekalah kita mencurahkan perhatian, tenaga, dan air mata karena kita berharap mereka akan punya hidup yang bermakna dan masa depan yang cerah, yang merupakan masa depan kita sendiri juga. Pada saat anak meninggalkan kita, kita merasa seakan masa depan kita diambil. Harapan kita hilang. Dan kita mulai mempertanyakan apakah kita selama ini sudah cukup berusaha sebagai orang tua.
Dan kalau mengingat dek Dafi, gue sering merasa gagal.
Di hari dek Dafi meninggal, gue sempat ngobrol sama Dewi. Gue bilang sama dia apa yang ada di pikiran gue waktu itu. "Apa ya yang ada di pikiran dek Dafi dua minggu terakhir ini?" Apakah ia hanya mengingat rasa jenuh dan rasa sakit? Saat itu gue takut sekali semangatnya yang biasa hancur dan pengalaman dua minggu di rumah sakit itu jadi trauma baginya. Gue berkata sama Dewi, sepertinya sepulangnya dari rumah sakit, kita harus berlibur bersama lagi. Sekedar untuk membuat memori yang indah buat dek Dafi supaya ia tak terus-terusan ingat pengalaman tak menyenangkan ini. Namun apa yang gue ingat selanjutnya adalah saat dokter dan perawat mengerubungi dek Dafi berusaha mengembalikan detak jantungnya, hingga akhirnya mereka menyerah dan kami harus menerima kenyataan bahwa dek Dafi tidak bisa pulang seperti yang kita nanti-nantikan, dan liburan bersama itu mungkin suatu saat hanya akan bisa kita lakukan bertiga. Saat itu, gue merasa sebagai seorang ayah, jangankan membesarkannya, melindungi anak pun gue gagal.
Dan itu menjadikan ucapan kerabat yang bilang sama kita, "Sudah, kalian kan masih muda, Insya Allah dapat gantinya." menjadi terasa agak menyesakkan.
Dengan tidak ingin mengingkari kuasa Allah, kami (masih) merasa dek Dafi itu tak tergantikan. Jika suatu saat kami diberi amanat untuk punya anak lagi, kami berharap itu adalah di saat jiwa kami sudah sepenuhnya merelakan dek Dafi, meskipun sekarang tak terbayang kapan. Tapi itupun menimbulkan pertanyaan lain, memangnya gue masih pantas jadi orangtua lagi?
Selama dua tahun hidupnya, rasanya gue pun jarang absen di hidupnya dek Dafi. Gue belum bisa jadi teladan yang baik buatnya, belum bisa jadi orang yang ia cari kalau tak ada, dan yang paling menyakitkan, bahkan gue tak bisa menjaganya dari rasa sakit di akhir hidupnya. Sekarang, yang ada di pikiran gue hanyalah memastikan Abang Aidan tidak ikut merasa sedih, dan percaya bahwa kami akan berusaha yang terbaik untuk jadi orang tuanya.
Kadang-kadang memang gue sadar bahwa gue tidak bisa berpikir terus-terusan seperti ini. Namun, karena gue menulis ini tujuannya memang hanya untuk curhat, semoga gue diberi petunjuk akan apa sebenarnya rencana Allah buat gue dan Dewi. Sebelum gue mengetahuinya, rasanya akan agak sulit menghilangkan pikiran negatif ini dan benar-benar ikhlas.
Gue lupa bilang sama teman yang berkunjung tadi, bahkan hingga sekarang pun gue masih dalam tahap penyangkalan. Di antara foto-foto yang gue pajang, hampir tak ada foto-foto di rumah sakit. Gue masih belum sanggup melihatnya, dan sekarang gue hanya ingin mengingat masa-masa dimana dek Dafi membuat kita tersenyum. Karena konon katanya dalam masa empat puluh hari pertama semenjak meninggalnya seseorang, jiwanya masih tinggal bersama keluarganya. Pasti dek Dafi gak suka melihat kita bersedih terus, begitu kata seorang teman.
Maafkan kami ya, dek. Kalaupun kadang masih suka menangis, kita tidak sedang bersedih kok dek.. hanya memang kami selalu teringat betapa keberadaan kamu membuat hidup kami terasa lengkap, dan kami masih sangat merindukan perasaan itu…
Innalillahi wa inna ilaihi raji'un...
BalasHapusSaya malah baru tau kabar tentang kepulangan dek Dafi, Mas Haris. Mohon maaf
Saya hanya menghaturkan bela sungkawa untuk mas Haris serta mbak Dewi dan Al-fatihah buat dek Dafi
Semoga tidak menyinggung dan bikin makin sedih ya, Mas...
Ris, selalu bikin gw ingat adegan dalam LOTR ...saat raja berduka ia berkata dengan sedih "no father should bury their son"
BalasHapustapi ini mungkin tulisan elu yang paling panjang setelah sekian lama nggak nulis ..
*speechless*
mungkin loe bakal bosen denger kata 'sabar' ris... gw tau itu juga gak mudah.. tapi semoga loe dan Dewi selalu berusaha untuk sabar dan ikhlas menjalani ini...
BalasHapusseperti yang gw bilang waktu itu, syukurlah dokumentasi dek Dafy banyak. terima kasih untuk teknologi digital sekarang.
kalau loe tambah sedih ngeliat foto2 dek Dafy sekarang. tentu wajar sekali. tapi seiring dengan berjalannya waktu, gw percaya nanti kalian akan bisa melihat foto2 dek Dafy sambil tersenyum. ^_^
dan gw juga setuju, dek Dafy tak akan tergantikan. hingga kapanpun, oleh siapapun. jika Allah berkenan menitipkan seorang anak lagi kepada kalian nanti, ia tak akan menggantikan posisi dek Dafy sedikitpun.
gw pun percaya, loe sama Dewi bisa jadi orang tua yang baik bagi bang Aidan dan (jika ada) adiknya dek Dafy nanti... Insya Allah. ^_^
kalau boleh ngingetin... kalian masih punya bang Aidan lho. jangan sampai kesedihan kalian begitu mendalam sehingga (kuatirnya) bang Aidan mengganggap dia kurang spesial dibanding dek Dafy. semoga sih nggak begitu... maaf kalau kalimat gw kurang berkenan... m (-_-) m
horeeeee. harley nongol disiniiii!!
BalasHapuswha? whaa? whaaaa?
BalasHapussabar ya mas, gue tau pasti mas sekeluarga sangat sedih, gue gatau itu rasanya kayak apa coz gue belum pernah kehilangan seperti mas haris. coba tanamkan dipikiran bahwa dek dafy nggak kemana mana kok, dia ada dan dipanggil Allah, karena memang setiap kematian ada karena Allah, apapun dan bagaimanapun caranya. Jadi kuatkan hati dan kembali bersemangatlah. dek dafy akan selalu milik kalian...
BalasHapus