Sabtu, 01 September 2012

dek Dafi @instagram




di tengah kekangenan gue sama dek Dafi, gue sering melihat-lihat foto dan videonya yang tersimpan di henpon gue, yang ujung-ujungnya gue instagramkan foto-foto itu. Apakah memori gue ini jadi terlihat lebih trendi? :)

Jumat, 31 Agustus 2012

How (not) to deal with grief...

Sebelumnya, jika ada yang terganggu dengan postingan yang emosional, gue sarankan tidak terus membaca. Gue menulis ini hanya untuk melampiaskan perasaan saja. Mohon maaf


----------------------------------------------


"Bukannya élu malah tambah sedih ya jadinya?", kata seorang teman yang datang melayat ke rumah. Ia berkata begitu setelah melihat foto-foto dek Dafi yang gue pajang di frame digital di ruang tamu.


"Hmm, kebetulan aja frame ini ada dan gak dipake, jadi kenapa enggak." jawab gue. "Tapi alasan utamanya, sebenernya gue merasa gak ada pilihan. Kemanapun gue memalingkan wajah, gue selalu inget dia. Gue masih sedih. Jadi gue berpikir, biarlah gue begini, sampe gue terbiasa melihat fotonya dek Dafi dan gue udah gak merasa sedih."


Memang sejak kepergian dek Dafi, hari-hari gue dan Dewi dihabiskan dalam masa penuh duka. Betapapun kami sering saling menguatkan, ternyata yang namanya ikhlas itu masih sulit rasanya untuk dijalankan. Gue pernah kehilangan ibu, dan rasanya pun saat itu tidak seberat ini. Di tengah-tengah pikiran gue yang masih kacau balau ini, gue pun mencoba menalar kenapa.


Saat orangtua meninggalkan kita, meskipun sedih rasanya (karena setua apapun usia kita, tetap membutuhkan orangtua), namun kita menyadari bahwa itulah takdir yang seharusnya. Kita sebagai anak pun ditakdirkan untuk melepaskan diri dari ketergantungan kita pada orangtua saat beranjak dewasa. Kalau ada yang gue rindukan dari ibu, itu adalah kerinduan untuk berbakti padanya, dan rindu akan rasa hangat dari perhatian dan kehadirannya yang gue rasakan sejak gue lahir.


Tapi anak adalah masa depan kita. Kepada merekalah kita mencurahkan perhatian, tenaga, dan air mata karena kita berharap mereka akan punya hidup yang bermakna dan masa depan yang cerah, yang merupakan masa depan kita sendiri juga. Pada saat anak meninggalkan kita, kita merasa seakan masa depan kita diambil. Harapan kita hilang. Dan kita mulai mempertanyakan apakah kita selama ini sudah cukup berusaha sebagai orang tua.


Dan kalau mengingat dek Dafi, gue sering merasa gagal.


Di hari dek Dafi meninggal, gue sempat ngobrol sama Dewi. Gue bilang sama dia apa yang ada di pikiran gue waktu itu. "Apa ya yang ada di pikiran dek Dafi dua minggu terakhir ini?" Apakah ia hanya mengingat rasa jenuh dan rasa sakit? Saat itu gue takut sekali semangatnya yang biasa hancur dan pengalaman dua minggu di rumah sakit itu jadi trauma baginya. Gue berkata sama Dewi, sepertinya sepulangnya dari rumah sakit, kita harus berlibur bersama lagi. Sekedar untuk membuat memori yang indah buat dek Dafi supaya ia tak terus-terusan ingat pengalaman tak menyenangkan ini. Namun apa yang gue ingat selanjutnya adalah saat dokter dan perawat mengerubungi dek Dafi berusaha mengembalikan detak jantungnya, hingga akhirnya mereka menyerah dan kami harus menerima kenyataan bahwa dek Dafi tidak bisa pulang seperti yang kita nanti-nantikan, dan liburan bersama itu mungkin suatu saat hanya akan bisa kita lakukan bertiga. Saat itu, gue merasa sebagai seorang ayah, jangankan membesarkannya, melindungi anak pun gue gagal. 


Dan itu menjadikan ucapan kerabat yang bilang sama kita, "Sudah, kalian kan masih muda, Insya Allah dapat gantinya." menjadi terasa agak menyesakkan.


Dengan tidak ingin mengingkari kuasa Allah, kami (masih) merasa dek Dafi itu tak tergantikan. Jika suatu saat kami diberi amanat untuk punya anak lagi, kami berharap itu adalah di saat jiwa kami sudah sepenuhnya merelakan dek Dafi, meskipun sekarang tak terbayang kapan. Tapi itupun menimbulkan pertanyaan lain, memangnya gue masih pantas jadi orangtua lagi?


Selama dua tahun hidupnya, rasanya gue pun jarang absen di hidupnya dek Dafi. Gue belum bisa jadi teladan yang baik buatnya, belum bisa jadi orang yang ia cari kalau tak ada, dan yang paling menyakitkan, bahkan gue tak bisa menjaganya dari rasa sakit di akhir hidupnya. Sekarang, yang ada di pikiran gue hanyalah memastikan Abang Aidan tidak ikut merasa sedih, dan percaya bahwa kami akan berusaha yang terbaik untuk jadi orang tuanya.


Kadang-kadang memang gue sadar bahwa gue tidak bisa berpikir terus-terusan seperti ini. Namun, karena gue menulis ini tujuannya memang hanya untuk curhat, semoga gue diberi petunjuk akan apa sebenarnya rencana Allah buat gue dan Dewi. Sebelum gue mengetahuinya, rasanya akan agak sulit menghilangkan pikiran negatif ini dan benar-benar ikhlas.


Gue lupa bilang sama teman yang berkunjung tadi, bahkan hingga sekarang pun gue masih dalam tahap penyangkalan. Di antara foto-foto yang gue pajang, hampir tak ada foto-foto di rumah sakit. Gue masih belum sanggup melihatnya, dan sekarang gue hanya ingin mengingat masa-masa dimana dek Dafi membuat kita tersenyum. Karena konon katanya dalam masa empat puluh hari pertama semenjak meninggalnya seseorang, jiwanya masih tinggal bersama keluarganya. Pasti dek Dafi gak suka melihat kita bersedih terus, begitu kata seorang teman.


Maafkan kami ya, dek. Kalaupun kadang masih suka menangis, kita tidak sedang bersedih kok dek.. hanya memang kami selalu teringat betapa keberadaan kamu membuat hidup kami terasa lengkap, dan kami masih sangat merindukan perasaan itu…

Minggu, 19 Agustus 2012

Dafy's Song (repost)




Dibandingkan abangnya yang lebih suka menggambar, dek Dafy ini kelihatannya lebih tertarik sama musik. Dia lebih suka bermain dengam gitar abangnya, dan suka menyuruh ayahnya menabuh kendang sementara ia berjoged.

Ini adalah 'lagu' yang ia karang saat kami sedang menunggu pesanan makanan kami diantarkan..

(ini diposting ulang karena tampaknya yang kemarin diposting lewat henpon gambarnya jadi aneh..)

Sabtu, 18 Agustus 2012

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1433 H


Kami sekeluarga mengharapkan kebahagiaan buat semua teman-teman yang merayakan Hari Raya Idul Fitri. Mohon maaf lahir dan batin..

Jumat, 17 Agustus 2012

..maaf..

Jika saja ayah diberi kesempatan untuk bertemu lagi denganmu,

Ayah akan peluk kamu erat, dan minta kamu untuk memaafkan ayah.

Memaafkan ayah karena sering absen dalam hidupmu,

Memaafkan ayah karena belum bisa jadi orang yang pantas kamu teladani,

Memaafkan ayah karena meskipun kamu sudah sempurna sekarang, ayah sempat membuatmu menderita di akhir hidupmu.

Tapi ketahuilah bahwa kala semua itu, sejak ayah bertemu denganmu pertama kali, tidak sedetikpun waktu ayah lewatkan tanpa mencintaimu.

Dan maafkan ayah sekali lagi, meskipun tak sedikitpun niat ayah untuk menghalangimu pulang menuju kebahagiaanmu yang abadi, ayah masih menyimpan keinginan untuk melakukan apapun di dunia ini untuk bisa bertemu denganmu kembali.

Ayah rindu sekali, nak..

Kamis, 16 Agustus 2012

Adzan terakhir..

Dua minggu ini, adalah dua minggu paling mengubah hidup saya.

Dua minggu yang lalu, dek Dafy tiba-tiba mengeluh sakit perut sehabis bangun tidur siang. Awalnya kita hanya menyangka ia masuk angin. Namun setelah itu diikuti semalaman muntah-muntah memaksa kita untuk membawanya ke rumah sakit keesokan paginya. Ditemui dokter jaga UGD, kita hanya diminta untuk mengobservasinya, memberi obat untuk mengurangi muntahnya, sambil terus memberinya cairan untuk mencegah dek Dafy dari dehidrasi.

Namun hari itu, dek Dafy tak juga membaik. Akhirnya keesokan harinya lagi, kami membawanya menemui dokter anak yang biasa menanganinya. Bu dokter menyarankan untuk melakukan USG, namun setelah dokter yang melakukan USG menemukan bahwa ususnya telah melebar. Ia minta izin untuk dilakukan foto rontgen dan ditemukanlah bahwa dek Dafy ususnya ada penyumbatan.

Dek Dafy pun disuruh untuk rawat inap saat itu juga, sambil terus diobservasi. Dokter berharap bahwa sumbatan pada ususnya hanya sebagian, sehingga ada kemungkinan bisa diobati. Namun ditemukannya cairan empedu di lambungnya menandakan sumbatan pada usus sudah sepenuhnya hingga tak ada cara lain selain tindakan operasi harus dilakukan segera.

Saya dan Dewi kaget. Kami tak percaya bahwa keadaan bisa berubah begitu drastis padahal dua hari yang lalu dek Dafy masih bermain dan ceria seperti biasa.

Namun untuk menghindari resiko yang lebih besar, kami terpaksa merelakan operasi dilakukan. Tanpa waktu banyak untuk berpikir, kami hanya bisa pasrah dan berdoa kepada Allah SWT bahwa ini akan mengakhiri penderitaan dek Dafy.


Empat jam kemudian, operasi berakhir dengan sukses. Ternyata ada jaringan yang tumbuh di usus halus yang kemudian melilit ususnya. Jaringan tersebut kemudian dipotong, sekalian mengangkat usus buntunya yang sudah infeksi. Kami pun lega dan bersyukur.

Namun karena operasi dilakukan pada saat kondisi tubuh dek Dafy kurang fit dan masih dehidrasi, masa recovery pun dijalaninya dengan lebih berat. Tubuhnya dipaksa untuk kembali beradaptasi dengan kuman dan infeksi yang selama ini tak mengganggu tubuhnya. Berulang kali panasnya naik turun diiringi batuk berdahak. Ini membuat adaptasi terhadap makan dan minumnya menjadi terganggu. Namun Dokter dan perawat meyakini memang itu wajar karena tubuhnya sedang melawan. Saat panasnya turun, ia pun kembali ceria seperti sediakala, dan kembali meluluhkan hati kami dengan senyumnya.



Hampir dua minggu di rumah sakit, kami melihat dek Dafy perkembangannya pun membaik. Bekas operasinya menutup dengan bagus tanpa komplikasi apapun. Fungsi pencernaannya pun sudah tampak kembali normal. Kami pun optimis dek Dafy bisa pulang tepat dua minggu sejak awal operasi. Hari-harinya pun diisi dengan bermain dengan kado-kado dari teman-teman dan saudara yang datang menjenguk, atau menonton video Elmo kesukaannya di komputer. Pada saat abangnya datang, ia pun sudah bisa pindah tempat tidur dan bermain bersama. Tinggal menunggu panas tubuhnya stabil dan batuknya sembuh.

Namun di hari ketiga belas, dek Dafy hanya terbaring lemas di tempat tidur padahal suhu tubuhnya sudah turun. Ia terlihat capek dan enggan bicara apalagi bermain. Nafasnya agak lebih cepat dari biasanya, namun tidak terlalu membuat kita khawatir. Hari itu hari Minggu, dan seperti biasa dokter tidak datang untuk kontrol sehingga kami berniat menanyakan soal itu besok. Saya pun minta ijin pada Dewi untuk membuat janji dengan atasan kantor untuk datang mengurusi pekerjaan yang sudah dua minggu terbengkalai. Dewi menyanggupi karena melihat meskipun lemas, kondisi dek Dafy terlihat stabil.

Minggu sore itu, sehabis mandi, tiba-tiba dek Dafy mengeluarkan suara.

"Foto" katanya.

Terkejut, Dewi bertanya, "Dedek mau difoto?". Kita terkejut karena sedari pagi kita tak mendengarnya bicara.

Dek Dafy mengangguk pelan.

Jadilah sore itu kita berfoto bersamanya. Ketika disuruh senyum, tak lupa ia mengeluarkan ekspresi andalannya. Saya dan Dewi merasa lega, rasanya inilah tanda kesehatan dan ketengilannya kembali.


Sama sekali kami tak menyangka itu akan jadi saat terakhir kami berfoto bersamanya.

Esok paginya saat sahur kami menemukan dek Dafy bernafas dengan sangat tersengal-sengal. Kami melaporkannya pada suster dan dokter yang kemudian memasukkannya ke ruang ICU. Di sana dek Dafy dirontgen dan dicek jantungnya. Hasil rontgen menunjukkan bahwa ia terkana pneumonia yang sudah meluas. Paru-parunya terkena infeksi dan terlihat bercak-bercak sudah penuh di dada. Siang itu di ICU kami mendapatinya terbangun dari tidur dan kaget karena sudah terpasang banyak alat. Ia berontak dan minta gendong, namun kami tak berdaya menurutinya. Dokter berkata bahwa ia harus dipasangi ventilator untuk mengambil alih fungsi nafasnya supaya otot pernafasannya tak letih. Kami hanya bisa menyanggupi meskipun hati ini teriris mendengarnya menjerit kesakitan saat alat-alat itu dipasang di tubuhnya. Kami hanya bisa berdoa dari jauh karena di ICU, ia tak mungkin kami tunggui terus menerus. Siang itu, saya menyuruh Dewi beristirahat sedikit sambil menunggu jam besuk sore, supaya tak kelelahan jika kami nanti harus bergadang malamnya.

Jam setengah lima sore, kami dipanggil. Dek Dafy kondisinya menurun. Ternyata jantungnya sempat berhenti meskipun saat kami sampai di sana kondisinya membaik. Namun tak lama, kondisi jantungnya terus menerus turun. Kami hanya bisa berdoa dan memeganginya saat dokter dan perawat berusaha mengembalikan fungsi jantungnya. Seumur-umur, saya jarang berdoa sampai menangis, dan saat itu saya memohon pada Allah SWT untuk mengembalikan dek Dafy kepada kami.

Namun ternyata Tuhan berkehendak lain. Sekitar jam 17.30, dokter sudah tidak sanggup lagi mengembalikan fungsi jantungnya. Kami sempat tak percaya. Rencana kami untuk berkumpul lagi bersama-sama di rumah malam itu ternyata tidak bisa terkabul. Kami harus merelakan dek Dafy pulang ke rumahnya yang sesungguhnya, kembali kepada Allah SWT Sang Maha Pencipta. Dan malam itu, dek Dafy pulang diantar ambulans yang suaranya ia sering tirukan, "nguinguing.."

Kami masih kaget, dan meskipun ikhlas, jujur kami masih sangat merindukannya. Siapapun yang pernah bertemu dengan dek Dafy pasti akan mengingat keceriaan dan kegembiraan yang selalu ia pancarkan.

Selanjutnya jenazah telah dimakamkan di TPU Kampung Kandang Jagakarsa pada hari Selasa tanggal 14 Agustus 2012 jam 9 pagi. Sepertinya belum lama saya mengadzaninya saat ia lahir, dan saat itu harus mengadzaninya lagi sebelum makamnya ditutup. Dan untuk saat itu, saya tak sanggup melakukannya.

Beruntunglah kami dikelilingi kerabat dan sahabat baik yang turut meringankan beban kami sejak Dafy masih dalam perawatan. Bersama ini, saya dan Dewi Fitriasari ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya untuk segala doa dan dukungan teman-teman dan kerabat sekalian. Semua hadiah dan kado juga pernah menghibur dek Dafy di saat-saat terakhirnya. Mohon maaf kami tidak bisa membalas satu-satu semuanya. Tapi Tuhan Maha Tahu dan pasti akan membalas ketulusan kalian. Kami masih mohon doa agar jalan dek Dafy kembali kepada Allah SWT dilapangkan, dan semoga kami yang ditinggalkan diberi ketabahan.

Sekali lagi, terima kasih.