Senin, 14 Januari 2008

tentang bapak yang satu itu..

Kesehatan mantan presiden RI itu kembali jadi sorotan. Ramai-ramai media memberitakan, memantau tiap menitnya dan memuaskan rasa penasaran pemirsa media. Suara-suara anti dan pro Suharto pun ramai lagi terdengar. Gak terkecuali Dewi, yang ikut-ikutan memperhatikan berita buat tau kondisi terakhir Suharto.

"Kenapa sih, kamu penasaran?" tanya gue kemarin.

"Ya pengen tau aja" jawab Dewi. Tipikal jawaban istriku banget :P

"Iya, apa yang pengen kamu tau. Kenapa kamu begitu penasaran?"

"Pengen tau, dia kapan isdet-nya..."

Gue  tersenyum kecut mendengar jawaban jujur Dewi. Jawabannya udah gue duga. Dan pertanyaan gue itu timbul karena gue sudah merasa jawaban  itu mewakili sebagian besar masyarakat Indonesa sekarang. Pantauan perkembangan dari masa ke masa, ekspos berita yang detil hingga emosional, seperti cerita film yang disusun dengan apik, dibangun untuk membawa pemirsa media menuju titik klimaks. The grand finale yang bisa membayar ketegangan yang sudah diikuti sekian lama.

Dan dalam hal ini klimaksnya adalah kematian.

Haruskah gue bersorak pada saat sang tokoh antagonis kalah? Meskipun gue bagian dari rakyat Indonesia yang sudah banyak dirugikan oleh Suharto, hati gue merasa itu tidak pantas.

Gue ingat salah satu dosen legendaris di kampus gue. Pada saat sedang menerangkan tentang perlakuan negara terhadap eks anggota PKI, beliau memberi pemahaman yang bagus. "Bencilah kita pada perbuatannya, jangan pada orangnya." begitu katanya. Artinya, pada saat orang melakukan kesalahan, kita mesti bisa memisahkan . Orang bisa berubah. Orang bisa melakukan kesalahan untuk alasan yang benar. Dan orang bisa saja insaf, tidak mau mengulangi lagi kesalahannya.

Gue percaya setiap orang mesti diberi kesempatan, karena kalo itu gue, gue pasti ingin diberi kesempatan.

Tapi sayangnya gak semuanya sesimpel itu. Gimana kalo orangnya tidak merasa salah? Gimana kalo orangnya tidak berniat insaf? Cukupkah alasan buat kita menyumpahinya biar masuk neraka atas dasar kebencian kita? Dan lagi-lagi, sangat gampang mengharapkan kematian orang lain atas dasar emosi dan kebencian. Betul deh, soalnya gue sering merasa demikian...

Tapi gue masih merasa hidup dan mati itu urusan Allah, dan gue gak merasa pantas mencampuri urusan itu.

Gue jadi curiga sebenernya ada alasan buat Yang Maha Kuasa membiarkan Suharto hidup demikian lama. Mungkin buat kita berkaca bahwa Suharto bukan satu-satunya masalah yang mesti kita habiskan emosi karenanya. Betapapun seringnya gue mengharapkan George W. Bush mati mengenaskan, selalu gue juga berpikir bahwa kalaupun itu terjadi dan akan gue nobatkan sebagai hari libur nasional, permasalahannya tidak serta merta selesai karena sangat mungkin muncul Bush-Bush lain yang menggantikannya. Mungkinkah Suharto diberi umur sampai sekarang supaya bangsa Indonesia bisa belajar menjadi dewasa dan fokus untuk menyelesaikan masalah yang sebenarnya? Kematian tidak (selalu) menjadi solusi. Dan dalam hal ini, kalau Suharto meninggal, bukannya penyelesaian kasusnya malah lebih sulit?

Jadi, daripada mengutuk bapak yang sedang sekarat itu, marilah kita mencoba ikhlas memaafkan, bahkan mendoakannya supaya sehat. Minimal cukup sehat buat menyelesaikan proses peradilannya. Tentu sahaja teriring doa Indonesia punya penegak hukum yang punya hati, jujur, cinta kebenaran dan keadilan, juga takut sama Tuhan karena sepertinya di situ letak permasalahannya..



21 komentar:

  1. Sayangnya doa yang jelek tidak akan dikabulkan...termasuk mendoakan beliau mampus, malah kita ketiban dosa....

    BalasHapus
  2. Kok sayang Roel.. ya bagus lah gak dikabulkan, kalo yang jelek dikabulkan kan malah gawat :P

    BalasHapus
  3. halah... kalo menurut gw mah ini cuman salah satu isu yg dibesar2kan aja, utk nutupin isu lain yg seharusnya lebih penting dan butuh perhatian masyarakat (inget teori agenda setting kan ya?)

    masih banyak yang harus kita (rakyat indonesia) pikirin ketimbang kesehatan seseorang yang hidup matinya nggak akan berpengaruh ke kondisi bangsa sekarang ini...

    MERDEKA!

    BalasHapus
  4. Ya udah... kalo gitu, gimana kalo do'anya supaya bangsa ini berkurang bebannya? Kalo emang Yang Maha Berkehendak mengabulkan do'a ini dengan memanggil the so called Bapak Pembangunan... gpp kan?

    BalasHapus
  5. gimana kalo nyariin dukun buat ngangkat 'barang-barang' dari badannya biar dia bisa lewat cepet...badannya dah busuk duluan tapi nyawanya blom bisa lepas abis dituker sama barang2 dari setan q:

    BalasHapus
  6. Teori agenda setting :D pak dosen MEMANG!

    Kalo gue sih gak heran kaya beginian datang dari media yang memang hobi membesar-besarkan apapun. Big news dan no news bisa dicover sama besarnya. Kira-kira sama dengan berita perceraian Syaiful Jamil-Dewi Persik, gitu lah...

    Ya kalo dibilang beban sih iya dan enggak juga ya. Karna yang bikin beban kan orang-orang yang masih sehat dan duduk di pemerintahan. Mereka ajah yang disikat... :D

    BalasHapus
  7. Katanya gitu ya? Gak tau juga gue... gimana cara taunya sih?

    BalasHapus
  8. His death of course won't be a solution. But some need it as closure.

    BalasHapus
  9. Should someone's death be anyone's closure? What if our own death become someone else's closure?

    BalasHapus
  10. pelik... hidup segan matipun tak mau...

    BalasHapus
  11. If it allows the other person to move on, then the answer is yes.

    BalasHapus
  12. Yang lagi polemik kan sekarang kebanyakan: maafin atau nggak?

    Menurutku sih maafin. Tapi bukan karena kasihan, atau jasa, atau kemanusiaan. Karena alasan yang egois saja: memaafkan orang itu bagus untuk diri sendiri. Menyimpan dendam itu--mengutip sebuah pepatah--seperti meracuni diri sendiri tiap hari, dan berharap orang lain yang mati.

    Tentu saja maafin ini hanya berarti kita nggak dendam lagi. Ini tentu saja terlepas dari masalah hukum. Hukum ya tetap lanjutin. Kita bebas dendam, hukum ditegakkan. Minimal penyelamatan harta negara sebanyak mungkin. Itu saja, lah.

    BalasHapus
  13. gak ikutan

    baik mendoakan kesembuhan ataupun kematian

    yang perlu didoain pemerintah sekarang harusnya bisa lebih baik, gak korup, gak kkn, gak serakah

    BalasHapus
  14. semoga beliau diberi keringan dan jalan yang terbaik oleh Allah deh, walau bagaimanapun soeharto juga makhluk ciptaan Allah, kasihan juga kalau lama2 menderita seperti itu....*sob..jadi inget papa keduaku...:<*

    BalasHapus
  15. pada ngomongin apa sih....gak penting ah...ayo hunting tahu tempe aja...

    BalasHapus
  16. rindu tempe...(padahal baru 2 hari yg lalu makan tempe;p)

    BalasHapus
  17. mungkin ybs dikasih waktu hidup lebih lama buat bertobat, Ris.....;)

    BalasHapus
  18. udah..serahin aja sama yang "berwajib"....
    mau dia meninggal atau hidup sampe 1000 tahun lagi....tetep aja masyarakat Indonesia tetep menderita....mulai dari bensin sampe tempe n tahu aja mahal.

    yg penting kita jgn ngelakuin kesalahan yang sama dgn Cing Ato...biar bisa tidur tenang dan mimpi yang kering2 aja....

    hehehehehehehhe

    BalasHapus
  19. sempet ikutan heboh di 2 hari pertama
    selanjutnya ya dah kelupaan karena banyak agenda laen yang lebih penting. tapi jadi ngrasa terganggu ketika bos ikutan nanyain update tentang beliau hampir setiap hari.
    dan yang mengherankan, hampir semua media gosip sampe bikin siaran live dari rspp.
    emang si bapak patut 'digosipin' ya sementara lagi terengah2 antara kehidupan dan (mungkin) kematian.. T_T
    sempet sebel juga sama beliau pas jamannya jadi anak sekolah dulu, tapi toh sebel gak bikin masalah selese kan?
    (*hihihihi.. sorry ris, jadi curhat.. btw, dosen yg lo maksud itu pak puspo ya??)

    BalasHapus
  20. semoga Allah memberikan yang terbaik aja deh untuk semua ya..

    BalasHapus
  21. di sini seumur hidup baru kali ini ris g baca curriculum vitae pak harto buat diterjemahin ke bhs perancis...dan bikin draft nota diplomatik dengan memakai bahasa "bunga2": "in deep sorrow..." :D

    BalasHapus