Rabu, 30 Januari 2008

nyawa dibalik selembar kertas koran

Beberapa bulan lalu seorang teman mengalami kecelakaan. Teman perempuan ini disambar kopaja P20 yang menyelonong ke dalam jalur busway saat sedang menyeberang di jalan Buncit Raya. Keadaannya sungguh menyedihkan, bibirnya sobek, dan beberapa giginya copot. Kakinya patah di dua tempat, dan tangannya sobek dari lengan ke atas. Yang menyedihkan, dari sekian banyak masyarakat sekitar yang menghampirinya, beberapa berinisiatif untuk merampok dompet dan henponnya.

Jadilah sang teman korban tanpa identitas.

Lalu warga yang tidak mengetahui keadaannya serta merta menutupinya dengan kertas koran. Untung teman saya ini masih setengah sadar, dan dengan sisa-sisa tenaganya ia berhasil membisikkan nomor telepon ibunya ke salah satu orang.

Singkat cerita nyawa teman saya terselamatkan, tapi tidak sebelum ditolak oleh salah satu rumah sakit karena tidak memiliki identitas.

Kenapa gue teringat ini, karena semalam gue melewati sebuah TKP kecelakaan. Ini bukan yang pertama kalinya, gue melihat sesosok tubuh tergeletak di trotoar dan ditutupi selembar koran. Polisi sudah datang dan memarkir Mitsubishi Strada-nya di pembatas jalan. Namun tak terlihat kebergegasan pada laku mereka. Si korban tetap saja terbungkus kertas koran...

Kalo ngeliat film-film luar negeri, keliatan betapa aparat masyarakat dilatih untuk menyelamatkan nyawa, seberapapun nyarisnya. Apalagi di film, satu panggilan telepon, atau satu prosedur CPR bisa menyelamatkan jiwa yang hampir lewat. Koordinasi antara polisi, rumah sakit dan pemadam kebakaran, atau lainnya terlihat begitu kompak. Siapapum yang datang duluan di tempat kejadian perkara bisa memberikan pertolongan pertama hingga petugas yang lebih ahli datang, yang biasanya datang tak lama kemudian.

Apakah hal seperti itu ada di sini?

Kalo melihat kasus teman gue itu, agak sulit gue membayangkan bahwa kita bisa selamat jika terjadi kecelakaan pada saat kita sedang sendirian tanpa bersama seseorang yang kita kenal. Bahkan pada saat kita sudah bisa sampai di rumah sakit pun, gak jarang dihadang oleh birokrasi dan prosedur, seakan-akan nyawa, maupun sekedar kenyamanan pasien yang sedang menderita menjadi nomor dua. Sudah pernah masuk ruang IGD RS Fatmawati?

Dan kenapa pak polisi yang gue lihat semalam tak tampak begitu antusias menolong korban? Bahkan memang jika sang korban sudah dikonfirmasi meninggal dunia, sulitkah menutupinya dengan selimut atau apapun yang lebih layak sebagai bentuk penghargaan terhadap seorang manusia yang pernah hidup? Apakah mobil pak polisi yang bagus itu tak cukup dijejali barang selembar atau dua lembar selimut?

Kecelakaan memang bisa terjadi di mana saja, tapi apa berlebihan kalo gue berharap bahwa gue akan berada bersama orang-orang yang bisa gue andalkan meskipun mereka orang asing? Berlebihankan kalau gue berharap setidaknya siapapun aparat masyarakat terdekat akan bersungguh-sungguh menyelamatkan nyawa gue? Kenapa gue jadi merasa pesimis?

Berhati-hatilah di jalan, teman-teman...

6 komentar:

  1. emosi ya ris ngelihat keadaan seperti ini... polisi kesannya cuma buat pajangan, masyarakat juga mau ngebantuin bingung karena takut ujung2nya mereka yang ketimpa problem... dituduh orang yang menyebabkan kecelakaan, disuruh membayar biaya administrasi, etc... lama kelamaan terbentuk perilaku cuek karena rumah sakit dan polisi sendiri gak bertanggung jawab sesuai fungsi mereka, orientasinya keuntungan institusi semata... MATRE

    BalasHapus
  2. Aku merinding. Padahal di masyarakat yang masih mayoritas seksis ini, kukira kalau perempuan kecelakaan akan memiliki kemungkinan lebih besar untuk ditolong. Ternyata nggak juga.

    Dalam buku The Gift of Fear, Gavin de Becker menulis apa yang disebut gejala pendistribusian tanggung jawab dalam masyarakat kota. Dengan kata lain, pada pertanda awal bahaya pada orang lain, orang-orang di sekitar akan pada buang bodi dengan berpikir, "Ah bakalan ada yang nolong, kok." Semakin banyak orang di sekitar, justru semakin buruk.

    Apalagi dengan adanya sejumlah orang yang menghampiri--padahal malah mencopet. Orang lain langsung berpikir, "Tuh, kan udah ditolong. Aku nonton (atau pergi) aja."

    Kalau berdasarkan tulisan itu, teman Haris tertolong karena ia secara refleks menghancurkan distribusi tanggung jawab itu--dengan membisikkan nomor telepon ke seseorang. Jadinya hanya orang itu yang tahu--tanggung jawab langsung berada di bahu orang tersebut tanpa bisa dilempar.

    Dengan mengetahui gejala ini, minimal kita bisa mulai dari diri sendiri. Saat terjadi sesuatu--jangan distribusikan/lempar tanggung jawab tanpa kejelasan. Dan jika kita berada pada situasi berbahaya (dikejar garong, misalnya): buat orang di sekitar tahu bahwa situasi itu benar-benar berbahaya, dan mereka bisa menolong dengan melakukan suatu tindakan yang kita teriakkan (karena kalau lagi lari tentunya nggak bisa berhenti dan menyampaikan monolog dulu dengan tenang.)

    BalasHapus
  3. ini yang sering terjadi kalau ada korban pencopetan di bis. Gak ada yang menolong, mungkin karena sebagian merasa akan ada orang lain yang menolong, sebagian lagi merasa tidak memiliki kemampuan untuk menolong dan tidak mau direpotkan dengan urusan belakangan.

    Dan satu lagi, kalau melaporkan kehilangan barang ke polisi, kok aku ndak pernah berharap bahwa barang itu akan ketemu ya? :D

    BalasHapus
  4. miris banget... salah satu output bangsa yang sakit...

    BalasHapus
  5. maih banyak yg kayak gitu,temen g juga kecelakaan di kuningan gk ada yg ngurusin, sampe akhirnya di bawa ke cipto jam 1 pagi baru diurusin jam 9 pagi, udah gitu operasinya asal2an lagi yg berbuntut 2 jari kakinya gk bisa digerakin lagi

    BalasHapus
  6. klo di ny, sekali telpon 911, ambulance, polisi, sama pemadam kebakaran langsung ke tempat lokasi, padahal cuman nenek2 jatuh dari tangga terus keseleo~ *kejadian nyata XD

    BalasHapus