Minggu, 22 November 2009

2012

Rating:★★★
Category:Movies
Genre: Action & Adventure
2012 mungkin salah satu film yang bisa dibilang paling berhasil membangun hype gara-gara trailernya. Adegan kehancuran dunia yang kolosal sukses membikin orang-orang mengantre gila-gilaan dengan harapan mendapat tontonan paling dahsyat tahun ini. Dan seperti sudah diketahui, banyak yang keluar karena kecewa...

Kemarin, setelah akhirnya berhasil nonton di bioskop andalan yang gak bakal ngantri seberapapun hype filmya itu, gue keluar dengan perasaan puas dan gak ngerti kenapa orang-orang kecewa. Seperti gue bilang di atas, film ini bikin penasaran karena trailernya yang dahsyat, dan seinget gue hampir semua (apa semua ya?) orang yang gue kenal tertarik nonton film ini setelah melihat trailer itu untuk melihat special effectnya yang dahsyat.

Dan bukan ceritanya.

Apalagi kalau melihat track record si sutradara, Roland Emmerich yang memang hobi membuat film hancur-hancuran (I heart Roland Emmerich :D) dan film-film itu sebagian besar lemah dari segi cerita. Kenapa film dengan special effect dahsyat biasanya ceritanya gak oke, gue juga gak bisa jawab. Tapi mungkin itu ada hubungannya dengan screen time. Dalam kasus 2012 ini, screen time terbanyak bukan pada John Cusack atau Woody Harrelson, tapi pada adegan kehancuran dunia. Cerita diadakan supaya adegan-adegan itu ada alurnya. Seakan jadi syarat saja. Jadi bahwasanya plotnya basi dan mudah ditebak, bahkan maksa buat hepi ending, pemain-pemainnya pun bermain biasa saja, bahkan logikanya juga ngawur, semestinya sudah bisa diharapkan, sebagaimana kita mengharapkan kualitas special effect film ini.

Cerita di film ini begitu tipis, sehingga siapapun yang menyalahartikannya, sampe menganggapnya sebagai perusak iman dan akidah, pasti sedang menghina kecerdasan penonton film Indonesia...

Eniwei, pemeran-pemeran yang bermain dalam film ini tampaknya dipilih dengan cukup pas dengan karakter stereotipikal yang mereka mainkan. John Cusack sebagai seorang ayah yang bingung dan bermasalah dengan perkawinannya yang di saat-saat terakhir mesti menjadi pahlawan buat kedua anaknya pun terasa pas. Begitu pula Woody Harrelson sebagai seorang gila yang mengetahui rencana pemerintah dalam menghadapi kiamat. Pas banget. Yang rasanya kurang pas mungkin Presiden Amerika yang dimainkan oleh sersan Murtaugh. Bisa-bisanya seorang presiden Amerika menolak dievakuasi dan memilih mati bersama rakyatnya, dan mengabaikan kesempatan menjadi pemimpin di dunia baru? Kalau ingat Independence Day waktu Bill Pullman berpidato memimpin perang udara terbesar di sejarah umat manusia lalu naik pesawat jet dan menembaki para alien, betapapun norak kedengarannya, itu baru Amerika :D

Cerita di film ini emang gak bagus, tapi di beberapa hal gue memang berharap mereka agak lebih memperhatikan detil. Mungkin memang kru film ini terlalu fokus pada adegan-adegan kolosal sehingga hal-hal yang kecil sering kelewatan. Seperti saat seorang ilmuwan India berpamitan pada kawannya ilmuwan Amerika saat ia dan keluarganya sudah akan diterjang ombak tsunami setinggi 1500 m. Melalui telepon. Tepat beberapa menit sesudah dialog, "We've lost all ground communications". Operator henpon India mungkin hebat, tapi sepertinya gak bakal sehebat itu. Padahal kalau henponnya diganti dengan telepon satelit, misalnya, mungkin lebih bisa dipercaya. Atau bahwa cerita tahun 2012 Presiden Amerika masih pake henpon Sony Ericsson M600i yang terkenal sinyal penerimaannya lemah. Memang sepele, tapi film macam ini akan banyak ditonton para geek, yang pasti akan memperhatikan hal-hal semacam itu.

Dan setelah menonton film ini, gue teringat akan salah satu film terbesar taun ini, Transformers 2. Gue jadi berpikir apakah gue mesti meminta maaf karena banyak mencela film itu karena 2012 adalah bukti bahwa gue bisa menikmati film dengan cerita yang kacau sekalipun. Tapi pikiran itu langsung gue tepis jauh-jauh karena gue rasa logika cerita, dan kamera berputar-putar Transformers 2 lebih tidak bisa dimaafkan. Dan gue gak tertarik nonton lagi Transformers 2 meskipun diputar ulang di Keong Mas.

Tapi kalo 2012 di teater IMAX? hm...sungguh tawaran yang menggiurkan :D

Film ini gue nobatkan sebagai film taun 2009 dengan spesial efek terdahsyat, adegan mobil meloncat terbanyak (limosin loncat, karavan loncat, sampe Bentley loncat), juga penampakan henpon Sony Ericsson M600i/W950i terbanyak, jika akhir dunia datang, henpon inilah yang harus lu pegang :D


the story of a monster..

Tahun berapa ya itu, gue lupa. Kalo gak salah si Alif baru berumur sekitar 1 tahun kurang lebih. Seperti biasa di suatu sabtu malam gue dan Dewi mencuri waktu buat pacaran dan menonton film midnight. Dapatlah nonton yang jam sembilanan, dan selesai kurang lebih jam 11. Setelah berenang di lautan ABG tentu saja. PIM gitu loooh...

Sepulangnya, gue melewati jalan Haji Nawi. Dan sebelum keluar ke jalan Fatmawati kita tertahan oleh lampu merah. Pandangan mata gue tertambat pada sosok seorang bapak-bapak tua yang berjualan berbagai jenis boneka.

Rasanya bapak itu usianya gak terlalu jauh dari Almarhum kakek gue pada saat beliau meninggal, dan di situlah dia berada. Di sebuah perempatan, menjual boneka. Jam setengah dua belas malam.

Seperti sudah gue duga, dagangan bapak itu tidak ada yang berminat. Pada jam segitu tentu saja tak ada anak kecil yang sedang naik mobil bersama orang tua mereka. Dan gue rasa bapak itu tahu. Bahwa dia memutuskan tetap berjualan semalam itu, rasanya memang karena kebutuhannya yang mendesak.

Meskipun begitu, gue tak melihat si bapak memaksa. Ia tak berlama-lama menempel di jendela samping kendaraan, dan segera berlalu setelah mendapat lambaian tangan. Dan setiap saat, gue selalu melihat senyum tersungging di bibirnya, seakan sebagai penjual yang baik, selalu berusaha memberikan servis sekecil apapun bentuknya.

Dan gue pun terharu. Dewi pun buru-buru mengambil uang, takut keburu lampu hijaunya menyala. "Mau dikasih berapa?" tanya Dewi. "Jangan dikasih, kita beli aja dagangannya. Hargai dia yang masih mau bekerja. Gak usah minta kembalian tapinya." kata gue. Kita pun memanggil si bapak. Ia tampak senang ada yang mau membeli dagangannya. Kita pun memilih boneka monyet yang tampaknya dibuat dengan tangan, seperti halnya semua boneka dagangannya dan menukarnya dengan selembar uang. Setelah itu lampu hijaunya menyala dan kita pun berangkat diiringi rasa terima kasih dari si bapak. Raut muka bersyukurnya kadang masih terbayang-bayang di kepala gue hingga sekarang, membuat gue sedih setiap kali mengingatnya. Apa kabarnya si bapak sekarang ya?

Boneka monyet yang menyeramkan itu akhirnya bertengger selama setahun lebih di mobil itu, buat mengingatkan pada gue dan Dewi betapa beruntungnya kita, masih bisa mengurusi orang tua kita sehingga tak perlu bekerja sekeras si bapak. Aidan sendiri awalnya takut dengan si boneka, karena dia memang takut pada semua yang berbulu. Kemarin, plastik murah yang membentuk kepalanya sudah hancur karena getas, membuat bentuknya yang memang berantakan akibat QC yang kurang sempurna makin menyeramkan. Sebelum dibuang Dewi, gue pengen mengabadikannya...