Sabtu, 21 Februari 2009

Selamat pagi, bu..




Karena letaknya yang agak tersembunyi di belakang antena TV, gue baru menyadarinya kemarin pagi waktu membuang sampah.

"Lho, ini baru berbunga ya?" tanya gue pada Bapak.

"Udah ada semingguan lah" jawab Bapak.

"Ini yang dulu ibu tanem kan? Emang baru berbunga sekarang?"

Ya, dulu semasa hidupnya, almarhumah Ibu yang hobi dan telaten merawat bunga-bunga di taman depan rumah yang tak seberapa itu. Semenjak ibu meninggal, tanaman-tanaman di kebun kecil itu praktis tak terurus, hanya rajin disirami dan dipangkas rumputnya karena kita serumah tidak ada yang mengerti cara merawat tanaman bunga. Si putih yang cantik ini belum pernah berbunga sebelumnya, dan agak mengejutkan (buat yang awam seperti gue ini :D) memang mengingat dia akhirnya muncul setelah sekian lama, meskipun gak pernah dirawat dengan layak.

"Kalo Ibu liat, dia pasti senang", kata Bapak kemudian.

Dan gue jadi ingat dulu Ibu pernah dengan bangga memamerkan bunga yang tumbuh dengan bagusnya dengan perawatan beliau. Ah, ibu-ibu. Gak ada yang lebih membuatnya bahagia selain melihat apa yang dibesarkannya tumbuh sesuai harapan.

Have I been a son she's proud of?

.....

Ada yang tau ini bunga apa dan gimana cara merawatnya?

Minggu, 15 Februari 2009

Odong-odongs....




Satu dari dua hal yang bisa bikin si Alif spontan teriak, "Bang! Sini Bang!" dan bikin panik orang-orang... Odong-odong adalah mainan kesukaan Alif, apalagi kalo ada pas dia jalan-jalan sore sesudah mandi. Atau pagi-pagi pas ada ayah ibunya yang bisa ditodong...

Oh ya, hal yang kedua adalah tukang bakso... :P

Selasa, 10 Februari 2009

Pamer...




Alif sedang mendemonstrasikan keahlian barunya... bicara dengan huruf R jelas! Dijamin membuat salah satu tantenya yang sampai sekarang belum bisa menjadi iri.. :D

Senin, 09 Februari 2009

Going postal in a hospital..

Pernah main game Postal? Game jadul yg kontroversial itu dulu menuai kritik karena bercerita tentang tokoh utama yg frustasi dengan bagaimana hidup dan orang-orang di sekitarnya memperlakukannya dengan buruk, jadi ia melakukan hal yang sewajarnya dilakukan; pergi ke luar rumah dan mulai membunuhi orang. Sebagai pemain, kita mengendalikan si karakter stress ini membunuh sebanyak mungkin orang. More kill means more points.

Dan pagi ini, gue merasa gatal ingin menjadi orang itu, meski tanpa dihadiahi poin.

Jadi ceritanya, setelah Dewi estriku itu operasi senin minggu lalu, ia diharuskan kembali beberapa kali untuk kontrol. Yang pertama, Kamis minggu lalu dan hasilnya baik, lalu kita disuruh kembali hari Sabtunya. Dan datanglah kita hari Sabtu itu pagi-pagi untuk menghindari macet (karena lumayan juwawuh) dan demi mendapatkan nomor urut awal, langsung disambut dengan suster yang bilang bahwa dokternya tiba-tiba harus ke luar negeri hari itu.

"Trus dokternya kapan ada lagi?" tanya kita.

"Hari Selasa ya. Jam sembilan" jawab mbak suster yang jutek karena sudah berkali-kali mendapatkan pertanyaan yang sama dari beberapa orang.

Untuk menghindari lubang yang sama, hari Senin siang kita konfirmasi lagi apakah si dokter itu betulan ada hari Selasanya. Yang menjawab bilang bahwa mereka belum tahu dan kita disuruh menelpon lagi besok paginya jam 8. Dewi yang mau mengatur waktu cutinya supaya tidak kecele akhirnya pasrah. "Aku cuti setengah hari aja deh, mestinya sih jam 1 udah bisa sampe kantor."

Lalu datanglah kita pagi-pagi ke rumah sakit itu. Di jalan, tepat jam 8 kita menelpon untuk menanyakan keberadaan dokternya, dan tidak diangkat. Hmm.. kadung udah dijalan, terusin aja Bismillah...

Jam 9 lewat dikit, kita sampai setelah menempuh macet selama dua jam. Langsung mendaftar dan merasa heran karena disuruh ke Poli Khusus. Poli Khusus? benda apa lagi ini? Kenapa tidak di Poli Umum seperti biasa?

Bergegas kita ke Poli Khusus dan disambut mas suster yang bilang bahwa dokternya hari ini praktek. Mulai jam 12.

BANGSAAATT!!!

Gue dan Dewi udah mulai naik darah. Bayang-bayang anak kita yang lucu menunggu di rumah mengurungkan niat kami untuk membakar rumah sakit laknat ini. Dewi akhirnya pasrah bahwa cuti setengah harinya akan hangus menjadi satu hari. "Tau gitu kan cuti setengah hari mulai siang! Dasar buang-buang waktu aja!" gerutu Dewi.

Dan dengan apa boleh buat kita tunggulah pak dokter itu hingga jam 12. Dan seperti layaknya dokter handal yang pasiennya banyak, tentu saja dia baru muncul JAM 1. Tanpa basa-basi dan memeriksa Dewi tidak sampai sepuluh menit. Hasilnya bagus, katanya. Lalu kita disuruh bayar di kasir. Dua kali lipat lebih mahal dari periksa terakhir.

Ternyata itulah akibat dari Poli Khusus itu. Kursi tunggu yang lebih empuk, ruangan dokter yang dihiasi wallpaper, segelas Aqua dan permen, waktu tunggu tiga kali lebih lama, dan harga dua kali lebih mahal. Dan tidak satupun permintaan maaf gue dengar hari itu. Sepertinya itulah standar pelayanan mereka.

Terima kasih banyak Rumah Sakit Dharmais. Thank you for wasting my ever precious time...

Sayang gue meninggalkan chainsaw gue di rumah...

Selasa, 03 Februari 2009

The Chinese Robot Farmer...




... not that he grows robots out of his field, mind you :D

Read the story di sini

Amazing story. Jadi malu kalo lagi merasa males dan sok tau... :P

Anggap Robot seperti Anak Sendiri

SECARA akademis Wu hanyalah lulusan sekolah dasar, yang hanya bisa berhitung dan membaca. Namun, Wu menunjukkan kreativitas dan inovasi bukan hanya milik kaum intelektual.

Semua orang bisa menggapai cita-cita dan mimpi,asalkan bekerja keras. Petani yang tinggal di desa bernama Mawu, dekat Beijing,itu telah berusaha membuat robot yang praktis dan bermanfaat sejak usia 11 tahun.Dalam kurun 30 tahun Wu telah berhasil menciptakan 26 robot. Hebatnya semua robot yang didesain dan dikonstruksi oleh Wu terbuat dari bahan-bahan bekas.

Wu mengaku belajar ilmu robotika secara autodidak. Kegagalan demi kegagalan tak membuatnya jera. Jika satu uji coba menemui kebuntuan,Wu akan mencoba alternatif lain. Demikian berulang kali, hingga akhirnya Wu dijuluki sebagai pencipta robot autodidak pertama di China. Tujuan Wu menciptakan robot sebenarnya hanya demi memudahkannya beraktivitas. Hidupnya semakin nyaman dengan bantuan robot-robot buatannya.

Misalnya Wu bisa berkeliling kampung dengan salah satu robot ciptaannya. Dia bisa naik kereta roda yang ditarik robot ciptaannya. Wu menganggap semua robot seperti anaknya sendiri. Dia juga menamai robo-trobot itu sesuai urutan mereka diciptakan, mulai dari Wu No 1 hingga Wu No 26. ”Saya mencintai robot saya melebihi anak saya sendiri,” kata Wu pada Reuters. Wu menganggap robot mampu memberikan kebahagiaan lahir dan batin. Bagi Wu, robot selalu siap mendedikasikan hidup mereka kepada tuannya tanpa pandang belas kasihan dan timbal balik.

”Saya juga sangat suka bermain dengan robot. Semakin pintar mereka, makin dalam rasanya perasaan yang menghubungkan saya dengan mereka. Anda bisa mengatakan saya lebih menyukai robot saya dibandingkan darah daging saya sendiri,” tuturnya. Salah satu robot favorit Wu adalah Wu No 25 yang mampu menarik becak. Wu No 25 juga mampu berbicara ketika dikendarai. ”Saya robot penarik kereta roda. Wu Yulu adalah ayah saya. Saya mengajaknya berkeliling kampung,” demikian bunyi robot itu.

Setiap hari Wu No 25 menarik becak di sekitar kawasan rumahnya. Robot tersebut dapat berjalan hingga enam jam, menggunakan baterai isi ulang.Selain robot penarik becak, robot yang dibuat Wu mampu memanjat tembok, menggambar, menyalakan rokok,dan bermain musik. Kehidupan Wu sempat berantakan akibat idealismenya untuk mengembangkan robot. Dia sempat dengan sengaja membakar rumahnya sendiri, terlibat utang, serta terkena tumpahan asam baterei pada kakinya.

Tantangan selanjutnya adalah istri Wu, yang sempat meminta cerai, kendati pada akhirnya mengurungkan niat itu. Wu juga sempat disebut ”gila” oleh keluarga, tetangga, serta teman-temannya lantaran membuat robot tanpa belajar ilmu robotika. Setelah mendapatkan ejekan dan celaan, kini Wu menyita perhatian media, baik China maupun internasional. Wu dikenal di seantero China.

Dia juga mendapat perhatian dari universitas-universitas di China yang kemudian meneliti robot-robotnya. Istri Wu, Dong Shuyan, harus bersabar menghadapi kelakuan eksentrik suaminya. Dong pun mengaku sering mendapat cibiran dari tetangga. ”Dulu, dia (Wu) pernah merusak rumah dan kita tidak memiliki uang. Pada saat itu saya pergi meninggalkan rumah bersama anak-anak. Tapi tetap saja, dia berurusan dengan robot-robot,” papar Dong. Kini Wu dan keluarganya berusaha mengelola keberuntungan yang diperoleh. Wu bekerja sama dengan berbagai perusahaan untuk mengembangkan robot ciptaannya. Dia juga berkeliling China untuk mengenalkan robot ciptaannya. Media-media China pun menjuluki Wu sebagai petani tercerdas. Bagaimana awalnya Wu tertarik dengan dunia robot?

”Saat itu saya berusia 11 tahun. Suatu hari saya berpikir alangkah indahnya ketika ada mesin yang mampu berjalan layaknya seorang pria,” paparnya kepada Beijing Times. Sejak saat itu Yulu langsung membulatkan tekad untuk membuat robot. Hingga akhirnya dia mampu membuat desain robot yang lebih menarik dan mampu bergerak layaknya manusia. Sejak kecil Wu tidak bercita-cita menjadi seorang teknisi. Guru-guru sekolah dasarnya menganggap Wu tidak memiliki bakat sebagai seorang penemu.

”Hingga saat ini saya tidak mengetahui teori fisika. Tapi saya tahu bagaimana listrik mampu menggerakkan motor dan memberi tenaga ke lengan robot dan kaki robot, sehingga mereka bisa bergerak,” katanya. Menurut Wu, kunci kesuksesan dalam pembuatan robot adalah kemauan belajar dari sebuah kesalahan yang pernah dibuat. (andika hendra mustaqim)

Sumber: Seputar-Indonesia

TOEET!

Suara klakson itu memecah kesunyian pagi hari ini. Gue melongok ke luar dan melihat sebuah angkot berhenti di depan rumah gue. Jam enam pagi begini.

TOET TOET TOET!

Suara klakson itu berbunyi lagi. Ternyata dari mobil di belakangnya yang tak sabar. Sepertinya ia marah karena angkot itu menghalangi jalan. Padahal bukan itu maksut si angkot. Ia berhenti di jalanan kecil ini karena terpaksa. Sedang mogok rupanya.

Si supir angkot yang sedang mencoba memperbaiki mobilnya itu lalu tergopoh gopoh menjelaskan pada si mobil di belakangnya bahwa ia mogok. Akhirnya si mobil pun mengambil jalan di sebelahnya dengan hati-hati karena sempit dan meninggalkan si angkot mogok setelah tak lupa membunyikan klaksonnya lagi. Huuh..ingin kutimpuk batu saja Kijang Innova silver itu...

Rasanya kalau adegan itu terjadi di iklan perusahaan rokok menjelang hari raya Idul Fitri, supir si mobil belakang itu pasti turun dan membantu pak supir angkot. Tapi ini dunia nyata, dan di dunia nyata, komunikasi emosi di jalan cukup dengan satu cara; klakson.

Meskipun seingat gue dulu waktu mengambil SIM tidak ada pelajaran khusus tentang klakson, tampaknya di jalan benda yang satu ini menjadi sesuatu yang amat vital. Sama pentingnya dengan bagian lain mobil itu sendiri. Bahkan, di banyak kesempatan, klakson ini bisa lebih penting bahkan bisa menggantikan fungsi rem. Lihat saja jika ada orang menyebrang misalnya, atau ada kendaraan memberi tanda ingin berpindah jalur. Apakah kendaraan lain yang melintas akan serta merta mengerem? Tentu tidak. Sebagian besar pasti akan mengklakson. Sambil asyik menambah kecepatan laju kendaraannya.

Bunyi klakson memang bermacam-macam, tapi lucunya kita bisa menangkap emosi di situ. Di banyak kesempatan ia bisa menjadi salam sapaan pada kerabat yang ditemui di jalan, tapi di lain waktu dia bisa jadi hardikan penuh amarah, menyuruh siapapun menyingkir karena si pembunyi klakson ingin lewat. Dan tentu saja, yang lebih sering kita temui adalah yang kedua. Gue selalu berpikir bahwa klakson itu mengganggu. Gue malah curiga tujuan klakson dibuat memang demikian, karena ia memang untuk memberi peringatan. Dulu kalau gue sedang menyetir mobil dengan Bapak di kursi penumpang, gue sudah hapal letak beliau menaruh tangan kanannya. Yaitu di atas klakson. Menurutnya gue terlalu lelet, dan ada banyak kesempatan harusnya mengklakson, gue malahan nunggu diam sampai apapun yang di depan gue lewat. Anak muda yang aneh memang :D

Klakson itu sebenarnya rude. Dan tidak semestinya dihamburkan cuma untuk melampiaskan emosi atau menunjukkan arogansi. Tapi sedihnya, di sini orang malah berlomba-lomba menjadi yang paling nyaring di jalan, apalagi kalau kendaraannya besar dan tinggi. Rasanya sudah seperti Godzilla yang mengeluarkan suara SKREEONG!-nya yang terkenal, tanda orang-orang harus bergegas menyelamatkan diri. Tata krama, tingkat pendidikan jadi tidak relevan lagi. Orang Indonesia ramah tamah? Yang bilang begitu pasti belum pernah mencoba menaruh klakson nganggur di depan orang Indonesia. Gue jadi berandai-andai. Mungkin gak ya, sehari kita berkendara tanpa sekalipun menyalakan klakson?