Pernah main game Postal? Game jadul yg kontroversial itu dulu menuai kritik karena bercerita tentang tokoh utama yg frustasi dengan bagaimana hidup dan orang-orang di sekitarnya memperlakukannya dengan buruk, jadi ia melakukan hal yang sewajarnya dilakukan; pergi ke luar rumah dan mulai membunuhi orang. Sebagai pemain, kita mengendalikan si karakter stress ini membunuh sebanyak mungkin orang. More kill means more points.
Dan pagi ini, gue merasa gatal ingin menjadi orang itu, meski tanpa dihadiahi poin.
Jadi ceritanya, setelah Dewi estriku itu operasi senin minggu lalu, ia diharuskan kembali beberapa kali untuk kontrol. Yang pertama, Kamis minggu lalu dan hasilnya baik, lalu kita disuruh kembali hari Sabtunya. Dan datanglah kita hari Sabtu itu pagi-pagi untuk menghindari macet (karena lumayan juwawuh) dan demi mendapatkan nomor urut awal, langsung disambut dengan suster yang bilang bahwa dokternya tiba-tiba harus ke luar negeri hari itu.
"Trus dokternya kapan ada lagi?" tanya kita.
"Hari Selasa ya. Jam sembilan" jawab mbak suster yang jutek karena sudah berkali-kali mendapatkan pertanyaan yang sama dari beberapa orang.
Untuk menghindari lubang yang sama, hari Senin siang kita konfirmasi lagi apakah si dokter itu betulan ada hari Selasanya. Yang menjawab bilang bahwa mereka belum tahu dan kita disuruh menelpon lagi besok paginya jam 8. Dewi yang mau mengatur waktu cutinya supaya tidak kecele akhirnya pasrah. "Aku cuti setengah hari aja deh, mestinya sih jam 1 udah bisa sampe kantor."
Lalu datanglah kita pagi-pagi ke rumah sakit itu. Di jalan, tepat jam 8 kita menelpon untuk menanyakan keberadaan dokternya, dan tidak diangkat. Hmm.. kadung udah dijalan, terusin aja Bismillah...
Jam 9 lewat dikit, kita sampai setelah menempuh macet selama dua jam. Langsung mendaftar dan merasa heran karena disuruh ke Poli Khusus. Poli Khusus? benda apa lagi ini? Kenapa tidak di Poli Umum seperti biasa?
Bergegas kita ke Poli Khusus dan disambut mas suster yang bilang bahwa dokternya hari ini praktek. Mulai jam 12.
BANGSAAATT!!!
Gue dan Dewi udah mulai naik darah. Bayang-bayang anak kita yang lucu menunggu di rumah mengurungkan niat kami untuk membakar rumah sakit laknat ini. Dewi akhirnya pasrah bahwa cuti setengah harinya akan hangus menjadi satu hari. "Tau gitu kan cuti setengah hari mulai siang! Dasar buang-buang waktu aja!" gerutu Dewi.
Dan dengan apa boleh buat kita tunggulah pak dokter itu hingga jam 12. Dan seperti layaknya dokter handal yang pasiennya banyak, tentu saja dia baru muncul JAM 1. Tanpa basa-basi dan memeriksa Dewi tidak sampai sepuluh menit. Hasilnya bagus, katanya. Lalu kita disuruh bayar di kasir. Dua kali lipat lebih mahal dari periksa terakhir.
Ternyata itulah akibat dari Poli Khusus itu. Kursi tunggu yang lebih empuk, ruangan dokter yang dihiasi wallpaper, segelas Aqua dan permen, waktu tunggu tiga kali lebih lama, dan harga dua kali lebih mahal. Dan tidak satupun permintaan maaf gue dengar hari itu. Sepertinya itulah standar pelayanan mereka.
Terima kasih banyak Rumah Sakit Dharmais. Thank you for wasting my ever precious time...
Sayang gue meninggalkan chainsaw gue di rumah...