Tinggal di Pinggiran Jadi Siksaan |
Rabu, 01/08/2007 |
RUTINITAS, Naik-turun kereta dan kendaraan lainnya sudah menjadi keseharian para komuter.
BELI rumah mahal dekat kantor agar hemat waktu dan ongkos, atau pilih hemat biaya dengan rumah pinggiran, tapi boros waktu atau ongkos?
Bagi Su Wibowo, perjalanan dari rumah ke tempat kerja bisa jadi siksaan.Setiap hari, dia harus bangun pukul setengah lima pagi. Setelah sarapan, Bowo, sapaan akrabnya, bergegas mengejar kereta ekonomi dari rumahnya di kawasan Sukasari, Bogor,menuju Jakarta.
”Saya sengaja datang pagi untuk rebutan kursi. Tahu sendiri kan, kereta ekonomi panas dan penuh.Cari posisi di dekat sambungan supaya bisa tidur lebih nyaman,” ujar pria kelahiran Jakarta, 7 Februari 1981 ini. Setelah sampai di Stasiun Tebet, Bowo masih harus mengejar bus Patas AC menuju ke kantornya di kawasan Kuningan. Total perjalanannya mencapai tiga jam. Kalau di total, perjalanan pergipulang sehari sekitar lima hingga enam jam.
Hal senada dialami pula oleh Shanti Setyaningrum. Selama setahun lebih dia memilih menjadi komuter. Setiap hari, Shanti berangkat pukul 04.45 dini hari dari rumahnya di Jagakarsa,Jakarta Selatan, menuju kawasan Pecenongan, Jakarta Pusat.
”Berangkatnya harus kurang dari pukul 05.00 pagi.Kalau tidak,bisa terjebak macet.Padahal, saya tidak boleh telat karena harus memimpin rapat tiap pagi,”ungkap Public Relation Manager Hotel Alila Jakarta ini. Shanti memacu mobilnya melewati Ragunan–Kapten Tendean–Mampang– Pecenongan selama 1,5 jam. Dia tiba di kantor pukul 06.30 pagi.
Padahal, jam kantornya baru dimulai pada pukul 08.00 WIB. Sisa waktu satu jam dimanfaatkannya untuk tidur di dalam mobil di tempat parkir. ”Karena itu, saya selalu membawa serta selimut dan bantal,” ceritanya.
Apa yang dialami Bowo dan Shanti merupakan gambaran keseharian para pekerja di ibu Kota.Sebelum Jakarta semacet sekarang,tinggal di pinggiran kota (suburb) sempat jadi pilihan. Maksudnya, seseorang rela menempuh perjalanan jarak jauh dari rumah ke kantor dengan harapan mendapat gaji lebih besar, suasana lebih nyaman, serta tempat tinggal yang layak.
Namun, kemacetan,serta meningkatnya jumlah kendaraan membuat ”kenyamanan” berubah menjadi ”siksaan”. Ekonom Bruno S Frey dan Alois Stutzer dari Universitas Zurich mengungkap apa yang disebut dengan the commuting paradox di majalah BusinessWeek.
”Intinya, pengorbanan para komuter ini justru tidak setimpal dengan hasil yang diraih,” ujarnya. Survei yang dilakukan Fakultas Studi Ilmu Ekonomi Empiris di Universitas Zurich itu menunjukkan bahwa para komuter di New York, AS merasa tidak bahagia dibandingkan nonkomuter.
Menurut Stutzer, ini karena para komuter cenderung meremehkan dampak negatif dan konsekuensi yang didapat ”Mulai dari minimnya sosialisasi,waktu yang kian sempit, hingga kesehatan terganggu,” ujarnya. Hal tersebut didukung oleh sosiolog FISIP Universitas Indonesia Ida Roweida.
Dia menilai tinggal di daerah pinggiran saat ini berubah jadi siksaan dan pemborosan. Entah itu dari sisi energi, waktu, hingga uang. Betapa tidak, biaya perjalanan terus meningkat seiring dengan semakin mahalnya harga BBM.”Akibat kemacetan, biaya yang ditanggung pun berlipat dan terus menggerus pendapatan tetap,” ujar Ida.
Soal waktu pun demikian, banyak yang bekerja overtime untuk menunggu berkurangnya arus kendaraan. Hal ini dirasakan juga oleh Shanti. Tiba di rumah pukul 22.00–23.00 WIB setiap hari, lama-kelamaan membuatnya didera kelelahan.
”Tekanan darah saya turun karena kurang tidur.Bekerja pun tidak bisa konsentrasi,” ungkapnya. Akhirnya, sebulan lalu, Shanti resmi meninggalkan kehidupannya sebagai komuter. Bersama keluarganya, dia lantas membeli rumah di kawasan Kemanggisan, Jakarta Barat.
”Meski mahal, tapi tubuh dan pikiran terasa lebih fresh. Berangkat dari rumah bisa pukul setengah delapan.Waktu untuk suami dan anak juga lebih banyak. Dan setiap weekend, kami keluar kota untuk liburan,” ujarnya. Semua orang tentu tidak ingin menghabiskan waktu terlalu lama waktu di jalan.
Namun, sebagian masih menolerir batasan waktu tertentu, yang berbeda- beda setiap individu. Verawati, misalnya, masih menolerir perjalanan kantor–rumah di bawah satu jam.Awalnya, karyawan sebuah perusahaan swasta di kawasan industri Pulogadung ini mengaku sempat kewalahan setiap berangkat kerja. Maklum,ketika masih bergabung dengan keluarganya, di Bekasi Timur, dia harus menghabiskan waktu selama satu jam lebih untuk sampai ke kantor.
Namun, setelah mengontrak rumah di kawasan Harapan Baru, Bekasi, dia hanya membutuhkan waktu selama setengah jam. ”Satu jam saja sudah lelah sekali.Paling pas itu berangkat ke kantor hanya 40 menit,” kata Vera, panggilan akrabnya. (hendrati hapsari/wahyu sibarani/danang arradian)
diambil dari harian Seputar Indonesia