"Berhubung menuai banyak kontroversi, maka terhitung malam ini (29/11) tayangan SPORTAINMENT (ECW, RAW, Smackdown) tidak akan ditayangkan lagi"
Begitu running text yang gue lihat semalem waktu lagi nonton Lativi. Apakah gue sebal? Gak juga sih, gue gak segitu hobinya sama acara2 itu. Apakah gue senang? Gak juga sih. Kalo langkah ini cuma untuk meredam 'kontroversi' di masyarakat, gue gak sepenuhnya setuju, Karena buat gue masalah anak-anak meniru tayangan di media bukan sepenuhnya tanggung jawab media. Memang media mesti punya standar dan kontrol kualitas tayangan-tayangannya. Tapi bahwa mereka siaran untuk mencari keuntungan sebanyak-banyaknya, itu juga bukan rahasia lagi. Kalau dicari jalan tengahnya, mendidik sama jualan memang sulit ketemunya. Contoh lainnya lagi ya bisa dilihat dari sekolah yang kurikulumnya dibilang bagus, mesti mahal.
Kalau gelagatnya begini terus, nanti tiap tayangan yang memberikan dampak buruk tinggal dicabut dari media, masalah dianggap selesai. Sementara inti permasalahannya sendiri dilupakan, yaitu anak-anak yang dibebaskan mengkonsumsi media yang bukan porsi mereka. Ini tanggung jawab siapa? Ya mestinya sih orang tua, atau siapapun yang bertanggung jawab mengasuh si anak. Mereka juga mesti punya standar dan kontrol kedewasaan juga sih. Dan sadar akan fungsi mendidik mereka.
Tapi yang menarik setelah gue pikir-pikir, dengan bersenjatakan 'kontroversi' saja, masyarakat sebenarnya masih punya kekuatan untuk menolak acara televisi lho. Tapi kenapa acara-acara yang lebih merusaknya dari Smackdown masih berseliweran di tivi kita ya? Apa karena belum ada anak yang terbunuh karena mencoba meniru adegan dalam sinetron? Belum ada anak yang bunuh diri menangisi artis kesayangannya yang baru saja putus cinta? Apa mesti dibayar nyawa dulu para petinggi media sadar akan buruknya kualitas sebagian besar tayangan mereka?
Yah, semoga pemenggalan tayangan ini diikuti juga oleh sinetron-sinetron tidak mendidik, dan acara-acara 'mari menggungjingkan artis' a.k.a infotainment juga...
Rabu, 29 November 2006
Rabu, 22 November 2006
There's a financial planner in each and everyone of us...
Setiap pagi, sebelum berangkat ke kantor, biasanya gue dan Dewi menyempatkan diri menonton Spongebob. Biasanya Dewi sambil menyusui Alif, dan gue mengganggu Alif yang sedang menyusu :P. Setelah itu Alif baru dititipkan ke neneknya sementara kita berganti pakaian.
Pada saat berganti pakaian, acara tivi dipindah ke acara Selamat Pagi Jakarta di O Channel. Kemaren itu kebetulan membicarakan masalah merencanakan keuangan dengan bintang tamu seorang financial planner yang gue lupa namanya.
Lalu sang pembawa acara, sebut saja namanya Erwin Parengkuan (memang itu namanya :P) berujar kira-kira seperti ini,
"Jadi gimana caraya memanage uang untuk yang penghasilannya pas-pasan... Misalnya dibawah sepuluh juta.."
*GDUBRAK! suara gue yang lagi pake singlet terjungkal*
"... atau malah misalnya dibawah lima juta sebulan.."
*GDUBRAK! suara Dewi yang lagi bedakan ikut-ikutan terjungkal*
"... pasti bakal lebih sulit mengatur keuangannya."
Trus gue dan Dewi berpandang-pandangan sambil ketawa. Kita ini termasuk yang penghasilannya pas-pasan ya?
Kalo soal kesulitan mengatur keuangan, gue rasa sih setiap orang pasti mengalami, berapapun penghasilannya. Teori investasi aman yang hanya boleh maksimal 30 persen gaji pun semua orang tahu, tapi kenapa tetap aja orang gak pernah ngerasa cukup?
Cukup. Itu kuncinya. Meskipun gaji gue dan Dewi masih jauh dari batas pas-pasan yang sepuluh juta per bulan *standar siapa sih ni?*, Alhamdulillah kita gak pernah ngerasa kekurangan. Alhamdulillah kita masih bisa makan tiga kali sehari, masih bisa jajan yang enggak-enggak, masih bisa menghidupi Alif anak kita yang rakus *thank God for breastfeeding! GOD, THANK YOU! ^_^*, masih bisa menabung, membeli komik, dan sebagainya.
Mungkin memang kita belum bisa mencicil rumah sendiri, mencicil kendaraan pun masih beroda dua (bisa sih ditambahin dua lagi, tapi akan terlihat sangat culun), tapi buat kita itu proses dan ada masanya. Apalagi kalo inget masih banyak yang bekerja gak kalah keras dari kita, bahkan lebih keras, dan penghasilannya masih di bawah kita. Itu semua bikin kita bersyukur. Ya, bersyukur. Itu kunci ke dua.
Cukup dan tidak itu masalah cara berpikir kita. Manusia diberi anugrah untuk berpikir dan bertahan dalam situasi apapun, dan untuk itulah kita mesti bersyukur. Selama kita yakin bahwa usaha kita sudah maksimal dan gak lupa meminta dan berterima kasih kepada Sang Pemberi, mestinya sih kita gak merasa kekurangan. Kecuali kalo kita orangnya iri dan dengki :P
Jadi inget kemaren temen gue cerita ngelihat iklan sebuah apartemen di daerah Utara Jakarta yang konon sangat eksklusif, diiklankan bahwa cicilannya hanya 20 juta sebulan.
HANYA 20 juta? Orang yang mencicil itu gajinya seberapa? Pasti mereka yang merasa gaji sepuluh juta sebulan itu pas-pasan.. ^_^
Pada saat berganti pakaian, acara tivi dipindah ke acara Selamat Pagi Jakarta di O Channel. Kemaren itu kebetulan membicarakan masalah merencanakan keuangan dengan bintang tamu seorang financial planner yang gue lupa namanya.
Lalu sang pembawa acara, sebut saja namanya Erwin Parengkuan (memang itu namanya :P) berujar kira-kira seperti ini,
"Jadi gimana caraya memanage uang untuk yang penghasilannya pas-pasan... Misalnya dibawah sepuluh juta.."
*GDUBRAK! suara gue yang lagi pake singlet terjungkal*
"... atau malah misalnya dibawah lima juta sebulan.."
*GDUBRAK! suara Dewi yang lagi bedakan ikut-ikutan terjungkal*
"... pasti bakal lebih sulit mengatur keuangannya."
Trus gue dan Dewi berpandang-pandangan sambil ketawa. Kita ini termasuk yang penghasilannya pas-pasan ya?
Kalo soal kesulitan mengatur keuangan, gue rasa sih setiap orang pasti mengalami, berapapun penghasilannya. Teori investasi aman yang hanya boleh maksimal 30 persen gaji pun semua orang tahu, tapi kenapa tetap aja orang gak pernah ngerasa cukup?
Cukup. Itu kuncinya. Meskipun gaji gue dan Dewi masih jauh dari batas pas-pasan yang sepuluh juta per bulan *standar siapa sih ni?*, Alhamdulillah kita gak pernah ngerasa kekurangan. Alhamdulillah kita masih bisa makan tiga kali sehari, masih bisa jajan yang enggak-enggak, masih bisa menghidupi Alif anak kita yang rakus *thank God for breastfeeding! GOD, THANK YOU! ^_^*, masih bisa menabung, membeli komik, dan sebagainya.
Mungkin memang kita belum bisa mencicil rumah sendiri, mencicil kendaraan pun masih beroda dua (bisa sih ditambahin dua lagi, tapi akan terlihat sangat culun), tapi buat kita itu proses dan ada masanya. Apalagi kalo inget masih banyak yang bekerja gak kalah keras dari kita, bahkan lebih keras, dan penghasilannya masih di bawah kita. Itu semua bikin kita bersyukur. Ya, bersyukur. Itu kunci ke dua.
Cukup dan tidak itu masalah cara berpikir kita. Manusia diberi anugrah untuk berpikir dan bertahan dalam situasi apapun, dan untuk itulah kita mesti bersyukur. Selama kita yakin bahwa usaha kita sudah maksimal dan gak lupa meminta dan berterima kasih kepada Sang Pemberi, mestinya sih kita gak merasa kekurangan. Kecuali kalo kita orangnya iri dan dengki :P
Jadi inget kemaren temen gue cerita ngelihat iklan sebuah apartemen di daerah Utara Jakarta yang konon sangat eksklusif, diiklankan bahwa cicilannya hanya 20 juta sebulan.
HANYA 20 juta? Orang yang mencicil itu gajinya seberapa? Pasti mereka yang merasa gaji sepuluh juta sebulan itu pas-pasan.. ^_^
Selasa, 21 November 2006
Adam Hughes - Ni orang makan apaan sih gambarnya bagus banget...

Adam Hughes adalah salah satu comic artist favorit gue. Dulu gue menikmati karya-karyanya di banyak komik-komik Wildstorm. Ternyata dia juga banyak menggambar untuk Marvel dan DC. Salah satu ciri khas karyanya adalah kalo gambar cewe cuanteeeeekkkk banget! Saksikan bagaimana sket dan gambar jadinya. Baru sket pensil aja udah keren. Kalo ketemu orangnya kayanya mau gue isep ubun-ubunnya biar gue ketularan skillnya.. :P
Look what Smackdown is cooking!
Membaca Republika hari ini, ada berita di halaman depan yang menarik perhatian gue.
Seorang anak berumur 9 tahun bernama Reza Ikhsan Fadillah meninggal setelah sempat dirawat di RS setelah mengeluh tangannya sakit. Dari hasil rontgen, diketahui tulang pangkal
lengan kiri Reza terpisah. Urat di tangan kirinya pun diketahui
terjepit tulang. Selain itu, Reza juga mengalami cedera di bagian dalam
kepala.
Dan semua itu bermula dari permainan SmackDown yang dilakukan Reza dan teman-temannya.
With all due respect kepada seluruh penggemar Smackdown, gue memang merasa acara itu bermasalah.
Dulu gue termasuk orang yang menikmati acara itu. Gue yang haus hiburan ini ternyata cukup terhibur melihat laki-laki berbadan kekar dan bercawat saling memukul dan menindih satu sama lain. Yang gue sukai adalah bagaimana masing-masing fighter hadir dengan konsepnya masing-masing, yang dipresentasikan lewat lagu pengiring masuk ke arena sampai jurus andalan.
Sekarang pun gue masih suka menonton acara itu bersama adik gue, sekedar untuk lucu-lucuan. Ya, memang karena menurut gue acara Smackdown lebih banyak lucunya daripada serunya.
Gue paham bahwa acara itu adalah untuk tujuan 'hiburan' semata. Itu terlihat dari teknik 'gulat' yang dikeluarkan banyak yang tidak serius dan cenderung hanya untuk 'keindahan' semata. Cuman terlepas dari itu, kemasan hiburan itulah yang sebenarnya agak menjebak.
Dan itu yang tiba-tiba gue sadari semalam. Pada saat gue melihat petarung Smackdown bisa saling memukul di luar ring. Mengeroyok satu petarung yang tidak berdaya. Memakai alat bantu kursi, tongkat, tangga, bahkan meja untuk melumpuhkan lawannya. Dan itu disaksikan oleh penonton yang bersorak.
Pada saat gue melihat Arnold Suasanazegar menghajar musuhnya, gue tidak menyoraki untuk menyemangatinya. Karena menurut gue meskipun terlihat keren dan sadis, itu sesuai konteks filmnya. Gue tidak melihat itu sebagai kenyataan, dan hanya hiburan semata. Pada saat gue melihat seorang anggota polisi menghajar demonstran di berita, gue marah terhadap si polisi arogan itu meskipun mungkin gayanya menghajar sama kerennya dengan Arnold. Karena konteksnya adalah kenyataan. Dan acara semacam Smackdown mengaburkan konteks tersebut. Apakah ini olahraga? Kenapa begitu sadis dan lepas kontrol? Apakah ini fiksi? Kenapa ada ring dan wasit? Kalo bohongan kenapa bisa berdarah-darah?
Bahkan meskipun gue mulai menikmati Smackdown pada saat gue dewasa, gue selalu sulit menahan keinginan untuk mengsmackdown laki-laki yang gue temukan sedang berbaring tanpa curiga (jangan-jangan emang guenya bermasalah :P). Bagaimana pengaruhnya buat penonton anak-anak? Apa acara tersebut bukan buat anak-anak? Kok mainannya bisa ditemukan dengan mudah di toko mainan? Apa sebenarnya yang kita dapatkan dari menonton Smackdown? Buat gue gak ada. Selain budaya kekerasan khas Amerika Serikat. Apakah gue terhibur dengan itu? Kok gue sekarang jadi sedih ya kalo gue merasa terhibur dengan tontonan vulgar brutalisme macam itu. Kayanya gue jadi bagian orang brutal semacam itu.
Siapa yang salah dalam kasus kematian Reza? Mungkin yang salah adalah ketidakdewasaan kita dalam (lagi-lagi) menyikapi media, terutama televisi. Pihak Lativi mestinya lebih dewasa dalam menayangkan acara kekerasan macam ini dengan mempertimbangkan lagi jam tayangnya. Orang tua Reza dan mungkin banyak anak di seluruh Indonesia mestinya lebih bisa mengawasi porsi menonton tivi anak-anaknya. Dan terlebih lagi, mungkin memang mestinya lembaga pengawasan penyiaran mesti lebih selektif menyaring materi-materi layak tayang di media.
Seorang anak berumur 9 tahun bernama Reza Ikhsan Fadillah meninggal setelah sempat dirawat di RS setelah mengeluh tangannya sakit. Dari hasil rontgen, diketahui tulang pangkal
lengan kiri Reza terpisah. Urat di tangan kirinya pun diketahui
terjepit tulang. Selain itu, Reza juga mengalami cedera di bagian dalam
kepala.
Dan semua itu bermula dari permainan SmackDown yang dilakukan Reza dan teman-temannya.
With all due respect kepada seluruh penggemar Smackdown, gue memang merasa acara itu bermasalah.
Dulu gue termasuk orang yang menikmati acara itu. Gue yang haus hiburan ini ternyata cukup terhibur melihat laki-laki berbadan kekar dan bercawat saling memukul dan menindih satu sama lain. Yang gue sukai adalah bagaimana masing-masing fighter hadir dengan konsepnya masing-masing, yang dipresentasikan lewat lagu pengiring masuk ke arena sampai jurus andalan.
Sekarang pun gue masih suka menonton acara itu bersama adik gue, sekedar untuk lucu-lucuan. Ya, memang karena menurut gue acara Smackdown lebih banyak lucunya daripada serunya.
Gue paham bahwa acara itu adalah untuk tujuan 'hiburan' semata. Itu terlihat dari teknik 'gulat' yang dikeluarkan banyak yang tidak serius dan cenderung hanya untuk 'keindahan' semata. Cuman terlepas dari itu, kemasan hiburan itulah yang sebenarnya agak menjebak.
Dan itu yang tiba-tiba gue sadari semalam. Pada saat gue melihat petarung Smackdown bisa saling memukul di luar ring. Mengeroyok satu petarung yang tidak berdaya. Memakai alat bantu kursi, tongkat, tangga, bahkan meja untuk melumpuhkan lawannya. Dan itu disaksikan oleh penonton yang bersorak.
Pada saat gue melihat Arnold Suasanazegar menghajar musuhnya, gue tidak menyoraki untuk menyemangatinya. Karena menurut gue meskipun terlihat keren dan sadis, itu sesuai konteks filmnya. Gue tidak melihat itu sebagai kenyataan, dan hanya hiburan semata. Pada saat gue melihat seorang anggota polisi menghajar demonstran di berita, gue marah terhadap si polisi arogan itu meskipun mungkin gayanya menghajar sama kerennya dengan Arnold. Karena konteksnya adalah kenyataan. Dan acara semacam Smackdown mengaburkan konteks tersebut. Apakah ini olahraga? Kenapa begitu sadis dan lepas kontrol? Apakah ini fiksi? Kenapa ada ring dan wasit? Kalo bohongan kenapa bisa berdarah-darah?
Bahkan meskipun gue mulai menikmati Smackdown pada saat gue dewasa, gue selalu sulit menahan keinginan untuk mengsmackdown laki-laki yang gue temukan sedang berbaring tanpa curiga (jangan-jangan emang guenya bermasalah :P). Bagaimana pengaruhnya buat penonton anak-anak? Apa acara tersebut bukan buat anak-anak? Kok mainannya bisa ditemukan dengan mudah di toko mainan? Apa sebenarnya yang kita dapatkan dari menonton Smackdown? Buat gue gak ada. Selain budaya kekerasan khas Amerika Serikat. Apakah gue terhibur dengan itu? Kok gue sekarang jadi sedih ya kalo gue merasa terhibur dengan tontonan vulgar brutalisme macam itu. Kayanya gue jadi bagian orang brutal semacam itu.
Siapa yang salah dalam kasus kematian Reza? Mungkin yang salah adalah ketidakdewasaan kita dalam (lagi-lagi) menyikapi media, terutama televisi. Pihak Lativi mestinya lebih dewasa dalam menayangkan acara kekerasan macam ini dengan mempertimbangkan lagi jam tayangnya. Orang tua Reza dan mungkin banyak anak di seluruh Indonesia mestinya lebih bisa mengawasi porsi menonton tivi anak-anaknya. Dan terlebih lagi, mungkin memang mestinya lembaga pengawasan penyiaran mesti lebih selektif menyaring materi-materi layak tayang di media.
Senin, 20 November 2006
Pulang jam berapa?
Jam lima sore tepat, istriku menelpon.
"Pulang jam berapa, mas?"
"Gak tau nih, aku dilema."
"Napa?
"Ada kerjaan deadline hari ini, kalo diturutin bisa sampe malem banget. Padahal bapak titip supaya baju ibu dibawain ke rumah sakit. Kalo nunggu aku selesai mau ke sana jam berapa. Tapi kalo kerjaan ditinggal mau selesai kapan?"
"Udah, pulang aja, biar aku ada barengan."
"Ih, gak bantu deh.. Gimana yah?"
"Ya udah, aku duluan ya... Ati2 pulangnya, jangan ngebut2."
Lalu aku meneruskan kerja. Ah, tiba2 komputerku rasanya lama banget. Ngebuka file aja lelet banget. Mana ma...
*pret* listrik mati.
Aaargh! Belum disave lagi! Aaarrgghhh.. kenapa mesti sekarang, Ya Tuhan? Apa pulang aja ya? Tapi kerjaan ini bakal selesai kapan?
Listrik menyala lagi, dengan bersungut2 aku menyalakan lagi komputer.
Sampe jam delapan aja deh. Biar masih gak kemaleman ke rumah sakit. Mudah-mudahan bisa selesai. Lalu aku mulai kerja lagi, Ah, sekarang mesti sering-sering ngesave. Buset, file gue gede banget apa yak? Masa ngesave aja jalannya lama... Awas aja lagi ngesave gini tiba-ti...
*pret* listrik mati lagi.
Setelah membalikkan meja, kursi, partisi dan memecahkan kaca jendela juga membakar ban sebagai bentuk protes, aku bergegas pergi ke rumah sakit....
Kamis, 16 November 2006
OK GO-A Million Ways
Rabu, 15 November 2006
ketika kehilangan...
Pernah ngerasa kehilangan teman?
Atau lebih dari itu, pernah ngerasa kehilangan sahabat?
Gue pernah. Dan ini bukan merasa kehilangan karena sang teman pergi ke luar kota kemudian tak tentu rimbanya. Tapi kehilangan pertemanan karena hal-hal insidental. Seperti bertengkar untuk hal yang (sepertinya) prinsip. Seperti ternyata si teman membohongi kita. Seperti ternyata si teman memutuskan buat berubah sifat dan kita tidak bisa menerimanya. Sampai hal seperti si teman bermasalah dengan salah satu sahabat kita yang lain, dan mau tidak mau kita jadi terseret ke dalam posisi 'pilih aku atau dia'...
Rasanya gak enak banget. Dan setiap kali habis ngalamin itu, gue selalu berpikir lagi sebenernya siapa sahabat-sahabat gue. Apa itu arti sahabat. Dan apakah gue sendiri sebaik itu terhadap teman dan sahabat gue (huhuh, biasanya ini yang paling bikin sedih)...
Dan gue selalu mengalami ketakutan akan hal itu setiap kali menemui salah seorang teman gue yang 'berubah'. Berubah tiba-tiba omongan kita gak nyambung lagi. Berubah tiba-tiba dia jadi makin sensitif terhadap becandaan gue (padahal biasanya bercanda sadis biasa-biasa sahaja). Jadi sering bertengkar. Jadi sering emosi terhadap kelakuan satu sama lain. Jadi sering tahu kalau dia mulai menyembunyikan hal-hal terhadap gue. Dan tiba-tiba gue sadar bahwa frekuensi komunikasi kita makin jarang dan makin jarang....
Gue berpikir namanya pertemanan atau persahabatan, apalagi kalau sudah berlangsung lama, mestinya bisa bertahan dari segala badai dan perubahan. Tentu saja orang berubah setiap saat, tapi pada saat itu terjadi pada seorang sahabat yang kita sudah merasa mengenalnya luar dalam, seharusnya kita bisa lebih paham dan otomatis mengendurkan syaraf toleransi kita bukan?
Gue merasa orang yang tidak begitu cerdas dalam masalah kehidupan sosial. Kalau hal itu terjadi pada kalian, apa yang bakal kalian lakukan?
Atau lebih dari itu, pernah ngerasa kehilangan sahabat?
Gue pernah. Dan ini bukan merasa kehilangan karena sang teman pergi ke luar kota kemudian tak tentu rimbanya. Tapi kehilangan pertemanan karena hal-hal insidental. Seperti bertengkar untuk hal yang (sepertinya) prinsip. Seperti ternyata si teman membohongi kita. Seperti ternyata si teman memutuskan buat berubah sifat dan kita tidak bisa menerimanya. Sampai hal seperti si teman bermasalah dengan salah satu sahabat kita yang lain, dan mau tidak mau kita jadi terseret ke dalam posisi 'pilih aku atau dia'...
Rasanya gak enak banget. Dan setiap kali habis ngalamin itu, gue selalu berpikir lagi sebenernya siapa sahabat-sahabat gue. Apa itu arti sahabat. Dan apakah gue sendiri sebaik itu terhadap teman dan sahabat gue (huhuh, biasanya ini yang paling bikin sedih)...
Dan gue selalu mengalami ketakutan akan hal itu setiap kali menemui salah seorang teman gue yang 'berubah'. Berubah tiba-tiba omongan kita gak nyambung lagi. Berubah tiba-tiba dia jadi makin sensitif terhadap becandaan gue (padahal biasanya bercanda sadis biasa-biasa sahaja). Jadi sering bertengkar. Jadi sering emosi terhadap kelakuan satu sama lain. Jadi sering tahu kalau dia mulai menyembunyikan hal-hal terhadap gue. Dan tiba-tiba gue sadar bahwa frekuensi komunikasi kita makin jarang dan makin jarang....
Gue berpikir namanya pertemanan atau persahabatan, apalagi kalau sudah berlangsung lama, mestinya bisa bertahan dari segala badai dan perubahan. Tentu saja orang berubah setiap saat, tapi pada saat itu terjadi pada seorang sahabat yang kita sudah merasa mengenalnya luar dalam, seharusnya kita bisa lebih paham dan otomatis mengendurkan syaraf toleransi kita bukan?
Gue merasa orang yang tidak begitu cerdas dalam masalah kehidupan sosial. Kalau hal itu terjadi pada kalian, apa yang bakal kalian lakukan?
Selasa, 14 November 2006
Nintendo Wii

Pada saat kompetisi konsol game masa depan sudah dimulai oleh Microsoft dan Sony dengan konsol super canggih mereka, ternyata Nintendo malah mencoba berpikir out of the box. Konsol paling mutakhir mereka, Wii, tidak akan dijejali perangkat high-end yang bisa menampilkan grafis realistis yang bisa dinikmati hinggal resolusi 1080p atau harddisk superbesar yang bisa menyimpan file save game atau apapun itu, atau pemutar Blu-Ray disc yang bisa memainkan format cakram 50 GB yang baru.
Yang dilakukan Nintendo adalah memperbaiki spek konsolnya sehingga lebih baik dari pendahulunya, Gamecube, namun cukup saja supaya harganya tidak terlalu mahal (mengingat tidak semua gamer mampu beli HDTV). Lalu apa yang menarik? Gameplay sodara-sodara! Nintendo memutuskan untuk membuat konsol yang dimainkan dengan controller motion sensor yang kalau dilihat sepintas lebih mirip remote AC daripada pengendali game. Bagaimana cara mainnya? Lihat film ini dan temukan kenapa menurut gue Wii lebih membuat penasaran dibanding konsol game lainnya...
Tenacious D - Tribute
Senin, 13 November 2006
Spiderman 3 Trailer

Setelah berbulan-bulan dibikin penasaran sama teasernya, akhirnya keluar juga trailer salah satu film yang paling diantisipasi tahun 2007 ini. Tidak ada tanda-tanda Topher Grace berubah menjadi Venom. Atau apakah memang ini masih menceritakan asal-usul kostum hitam Spiderman? Kenapa udah jadi symbiote ya? Aneh...
Rabu, 08 November 2006
Ini kenapa ya?
Kenapa sekarang kalo mau upload lagu ke multiply ini syusyehnya minta ampun. Baru sebagian, ngehang aja gitu... Gak selesai-selesai... Gimana gue mau upload albeum '100 greatest guitar solos' ini? ckckckckckck...
Syukurlah...
Huh, syukurlah... gue pikir gue ketangkep di Medan... ^_^
"Miliki 10,7 Gram Shabu-Shabu, Kopda Haris Dicokok di Medan"
Medan - Kopral Dua Haris Fadilah, anggota Batalyon Kavaleri XI/Serbu yang bermarkas di Jantho, Aceh Besar, NAD
ditangkap di Medan, Sumatera Utara (Sumut). Dari tangan Haris, disita 10,7 gram shabu-shabu yang dikemas dalam 12 paket.
Haris yang saat itu berpakaian sipil dibekuk aparat Polda Sumut di kediamannya di Jalan Irian, Tanjung Morawa,
Kabupaten Deli Serdang, pada 7 November 2006 pukul 10.30 WIB. Selain shabu-shabu, polisi menyita 27 butir amunisi jenis FN
dan 3 butir jenis FNC serta 1 unit magazin jenis FN serta timbangan elektronik, 2 handphone, 4 korek api gas dan alumunium foil.
Haris kini mendekam di tahanan Polda Sumut, Jalan Medan-Tanjung Mowara.
Kepala Bidang Humas Polda Sumut Kombes Pol Aspan Nainggolan mengatakan, penangkapan Haris dilakukan atas laporan
masyarakat sekitar dan ditindaklanjuti jajarannya. "Tersangka terancam pasal 62 subsider pasal 60 UU 5/1990 tentang Psikotropika,"
kata Aspan di kantornya pada Rabu (8/11/2006)
berita diambil dari : http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2006/bulan/11/tgl/08/time/170959/idnews/705605/idkanal/10
Selasa, 07 November 2006
Mules...
Senin, 06 November 2006
Don't smile like that!
Beberapa waktu lalu gue ngeliat tivi pas acara apa gitu lupa. Acara itu berbintang tamu salah seorang selebritis infotainment Indonesia dan anaknya yang kira2 baru berusia 1 tahun. Di situ, si seleb berbicara dengan anaknya dengan bahasa Inggris. Otak gue yang bodoh berpikir, wah hebat, pasti bapaknya orang luar negeri jadi anaknya diajar dengan bahasa bapak (bukan bahasa ibu..).
Lalu dua hari yang lalu waktu gue ke dokter, gue menemukan hal serupa.. Seorang bapak memarahi dua anaknya yang berlari-larian dengan bahasa Inggris, "Stop it! You go there and don't smile!" *ya, itu adalah kata2 yang diucapkan si bapak ^_^*. Otak bodoh gue celingak celinguk mencari si ibu yang gue curigai bule. Ternyata tidak, wajahnya sangat melayu. Mungkin orang Singapura. Haris, kamu selalu berprasangka baik ya... ^_^
Eniwei, setelah itu gue bertanya pada Dewi, apakah dia ingin mendidik anaknya (yang kebetulan anak gue juga) dengan cara mengajaknya berbahasa Inggris sejak kecil seperti itu? Dewi jawab iya. Trus gue tanya, buat apa? Kata Dewi, biar faseh berbahasa Inggris. Trus gue tanya lagi, buat apa? Apa kita segitu desperatenya mau mengekspor anak kita ke luar negeri?
Gue selalu berpikir bahasa Indonesia adalah bahasa yang kaya. Terutama setelah banyak bertemu dengan para penulis kopi dan sedikit-sedikit membaca buku tak bergambar karya asli penulis Indonesia. Itu kemampuan berbahasa yang gue pengen punya, yang sayangnya gak gue dapat padahal sedari lahir gue berbahasa Indonesia. Dan gue ingin anak gue memiliki kemampuan itu. Gue ingin anak gue tumbuh jadi anak yang cerdas, berpikir global, tapi juga gak meninggalkan identitasnya sebagai orang Indonesia. Gue pengen anak gue bisa berkomunikasi dengan semua orang, baik orang luar negeri, sampai rakyat jelata bangsanya sendiri. Gue pengen anak gue ngerasain sekolah di sekolah negeri yang muridnya dari macam strata sosial. Gue pengen anak gue berpikir dan bermimpi dalam bahasa Indonesia, dan menguasai bahasa lain sebagai skill, bukan bahasa 'asli' mereka. Mungkin gue gak bakal memasukkan anak gue ke Tk atau preschool yang belum2 kurikulumnya sudah dua bahasa. Bukan apa-apa, emang gak mampu sih, heheheheheh....
Gue bilang sama Dewi, gue agak kesel ngeliat orang2 berwajah Indonesia asli yang kalau berbicara sok2 berbahasa Inggris atau dengan logat 'luar negeri' yang kental. Plis deh... Jangan sampe anak gue kaya gitu. Berkaca pada pengalaman gue sendiri, gue dikenalkan pada bahasa Inggris. Sekarang skill bahasa Inggris gue lumayan lah, kalo buat ngerti-ngerti aja. Kalo misalnya gue dulu lebih rajin belajar pasti bisa lebih jago dari gue. Dan gue pikir dengan patokan itu, cukup lah buat anak gue nanti. Kalo anak gue lebih rajin belajar dari gue, pasti bisa lebih jago dari gue, malah bisa belajar bahasa lain juga kalau dia mau...
Gue gak meremehkan kapasitas belajar anak gue, tapi gue pikir pada usia semuda itu, gue pengen dia belajar pada hal-hal yang penting. Hal-hal yang bisa mendasari belajarnya nanti. Dan untuk urusan berbahasa, kayanya gue lebih kepengen dia belajar logika berbahasa dengan bahasanya sendiri dulu. Dan juga memancing minat dia buat
Gue jadi ingat dulu terinspirasi sama Jupiter Jones, salah satu tokoh novel Trio Detektif yang selalu berbahasa rumit. Mottonya, "Buat apa memakai kata-kata mudah kalau ada kata-kata yang lebih sulit?" Heheheh, gue selalu ketawa kalo inget itu. Tapi gara-gara itu gue jadi pengen tahu kata-kata bahasa Indonesia yang gak umum yang ternyata sering dilupakan orang. Mungkin cara berpikir seperti itu yang pengen gue tularin ke anak gue.
Tapi kan, itu kata otak bodoh gue, ada pendapat lain?
Lalu dua hari yang lalu waktu gue ke dokter, gue menemukan hal serupa.. Seorang bapak memarahi dua anaknya yang berlari-larian dengan bahasa Inggris, "Stop it! You go there and don't smile!" *ya, itu adalah kata2 yang diucapkan si bapak ^_^*. Otak bodoh gue celingak celinguk mencari si ibu yang gue curigai bule. Ternyata tidak, wajahnya sangat melayu. Mungkin orang Singapura. Haris, kamu selalu berprasangka baik ya... ^_^
Eniwei, setelah itu gue bertanya pada Dewi, apakah dia ingin mendidik anaknya (yang kebetulan anak gue juga) dengan cara mengajaknya berbahasa Inggris sejak kecil seperti itu? Dewi jawab iya. Trus gue tanya, buat apa? Kata Dewi, biar faseh berbahasa Inggris. Trus gue tanya lagi, buat apa? Apa kita segitu desperatenya mau mengekspor anak kita ke luar negeri?
Gue selalu berpikir bahasa Indonesia adalah bahasa yang kaya. Terutama setelah banyak bertemu dengan para penulis kopi dan sedikit-sedikit membaca buku tak bergambar karya asli penulis Indonesia. Itu kemampuan berbahasa yang gue pengen punya, yang sayangnya gak gue dapat padahal sedari lahir gue berbahasa Indonesia. Dan gue ingin anak gue memiliki kemampuan itu. Gue ingin anak gue tumbuh jadi anak yang cerdas, berpikir global, tapi juga gak meninggalkan identitasnya sebagai orang Indonesia. Gue pengen anak gue bisa berkomunikasi dengan semua orang, baik orang luar negeri, sampai rakyat jelata bangsanya sendiri. Gue pengen anak gue ngerasain sekolah di sekolah negeri yang muridnya dari macam strata sosial. Gue pengen anak gue berpikir dan bermimpi dalam bahasa Indonesia, dan menguasai bahasa lain sebagai skill, bukan bahasa 'asli' mereka. Mungkin gue gak bakal memasukkan anak gue ke Tk atau preschool yang belum2 kurikulumnya sudah dua bahasa. Bukan apa-apa, emang gak mampu sih, heheheheheh....
Gue bilang sama Dewi, gue agak kesel ngeliat orang2 berwajah Indonesia asli yang kalau berbicara sok2 berbahasa Inggris atau dengan logat 'luar negeri' yang kental. Plis deh... Jangan sampe anak gue kaya gitu. Berkaca pada pengalaman gue sendiri, gue dikenalkan pada bahasa Inggris. Sekarang skill bahasa Inggris gue lumayan lah, kalo buat ngerti-ngerti aja. Kalo misalnya gue dulu lebih rajin belajar pasti bisa lebih jago dari gue. Dan gue pikir dengan patokan itu, cukup lah buat anak gue nanti. Kalo anak gue lebih rajin belajar dari gue, pasti bisa lebih jago dari gue, malah bisa belajar bahasa lain juga kalau dia mau...
Gue gak meremehkan kapasitas belajar anak gue, tapi gue pikir pada usia semuda itu, gue pengen dia belajar pada hal-hal yang penting. Hal-hal yang bisa mendasari belajarnya nanti. Dan untuk urusan berbahasa, kayanya gue lebih kepengen dia belajar logika berbahasa dengan bahasanya sendiri dulu. Dan juga memancing minat dia buat
Gue jadi ingat dulu terinspirasi sama Jupiter Jones, salah satu tokoh novel Trio Detektif yang selalu berbahasa rumit. Mottonya, "Buat apa memakai kata-kata mudah kalau ada kata-kata yang lebih sulit?" Heheheh, gue selalu ketawa kalo inget itu. Tapi gara-gara itu gue jadi pengen tahu kata-kata bahasa Indonesia yang gak umum yang ternyata sering dilupakan orang. Mungkin cara berpikir seperti itu yang pengen gue tularin ke anak gue.
Tapi kan, itu kata otak bodoh gue, ada pendapat lain?
Langganan:
Postingan (Atom)